Jika dihitung, tidak banyak perguruan tinggi swasta yang concern dengan isu pembangunan berkelanjutan. Â Universitas Bina Mandiri Gorontalo (UBMG) dengan visi future sustainabilitynya bisa jadi contoh yang baik. Pada perhelatan International Interdisciplinary Conference on Sustainable Development Goals (IICSDGs) 2025, UBMG meneguhkan pentingnya pendidikan berkualitas dalam keberlanjutan melalui inovasi dan inklusi dalam pencapaian SDGs.
Dalam konteks membumikan SDGs, pendidikan berkualitas menjadi landasan melahirkan kajian dan studi yang efektif yang bisa berkontribusi dalam perumusan kebijakan publik termasuk kebijakan dalam mencapai SDGs.
Sustainable Development Goals (SDGs) adalah gambaran kesadaran global tentang pembangunan berkelanjutan. Semua Penghuni planet bumi didorong punya kesadaran yang sama.
Implementasinya pun didorong hingga ke akar rumput. Pencapaian SDGs adalah tantangan besar bagi dunia, mulai dari menghapus kemiskinan, mengurangi ketimpangan, menjaga bumi, hingga memastikan kesejahteraan bagi semua. No one left behind, termasuk perguruan tinggi.
Bumi memang berkembang pesat dalam hal inovasi dan teknologi. Joseph Schumpeter menyebutnya sebagai creative destruction. Cara-cara lama dihancurkan, berganti dengan cara baru yang lebih efisien. Teknologi mesin uap dan mekanisasi berganti dengan penggunaan energi listrik dan produksi massal. Sebelum era sekarang, yang advanced dalam teknologi digital seperti Kecerdasan Buatan (AI) dan Internet of Things (IoT), Â kita mengalami eranya komputerisasi dan otomatisasi.
Dalam teori ekonomi Schumpeter, inovasi adalah mesin penggerak pertumbuhan. Disrupsi yang lahir dari penemuan baru menciptakan efisiensi, membuka pasar, dan mendorong kesejahteraan. Namun, inovasi yang hanya berfokus pada efisiensi produksi tanpa mempertimbangkan dimensi sosial dan lingkungan bisa menghasilkan "pertumbuhan semu" yang merusak.
Dalam konteks keberlanjutan, inovasi dan teknologi bukan hanya tentang menciptakan produk ramah lingkungan atau kinerja kecerdasan buatan, tetapi juga tentang perubahan pola pikir, kebiasaan konsumsi hingga cara pandang tentang kehidupan itu sendiri. Karenanya kebijakan dan program SDGs harus dirancang berbasis pada  perubahan pola pikir dan perilaku manusia dan dekat dengan realitas sehari-hari.
Pembangunan sejatinya adalah memperluas kebebasan dan kapabilitas manusia. SDGs harus bisa memberikan ruang kebebasan bagi setiap individu  untuk berpartisipasi dengan sukarela. Pendidikan berkualitas menjadi fondasi utama, menjadikan masyarakat memahami bagaimana bias psikologi memengaruhi keputusan mereka.
Manusia adalah makhluk emosional dan sosial. Dalam mengambil keputusan mereka dipengaruhi bias kognitif, emosi, dan norma sosial yang berimplikasi pada cara berfikir dan  bertindak. Karennya, kebijakan publik tidak bisa hanya berbicara angka, target, dan teknologi namun perlu dirancang sesuai dengan perilaku manusia yang nyata, bukan manusia rasional ideal.
Behavioral policy, yang dipopulerkan melalui karya seminal Richard Thaler dan Cass  Sunstein dalam "Nudge" (2008), merepresentasikan revolusi dalam pemahaman tentang bagaimana kebijakan publik dapat mempengaruhi perilaku manusia. Manusia tidak selalu bertindak secara rasional seperti yang dipahami teori ekonomi klasik. Sebaliknya, manusia sering mengambil keputusan yang tidak rasional, dipengaruhi emosi, bias kognitif, dan norma sosial. Dengan memahami pola ini, kebijakan SDGs bisa dirancang lebih efektif.
Â
Ini adalah strategi lanjut yang perlu dikembangkan di berbagai perguruan tinggi. Perguruan tinggi tidak boleh berhenti hingga pengintegrasian isu SDGs kedalam mata kuliah lintas disiplin, atau membangun literasi SDGs di semua kalangan. Kampus sebagai pusat ilmu pengetahuan dan inovasi perlu lebih dalam mengenali kesenjangan dalam perumusan kebijakan akibat ketiadaan pengenalan terhadap aspek perilaku.