Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Runtuhnya Langit Malam, Tragedi Cilandak 30 Oktober 1984

30 Oktober 2012   03:39 Diperbarui: 26 Oktober 2021   13:54 42076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1351568159790730369

Gelegar yang menggoyang bumi  bersahutan tiada henti di belakang kami dalam gelap gulita tanpa penerangan. Perjalanan yang sungguh dahsyat ditingkahi dengan teriakan "Awaaaas...!" berkali-kali. Peringatan itu berulangkali dikomando para lelaki dan tentara muda yang ikut juga meninggalkan markasnya ketika bulatan merah melintas beberapa meter  diatas kepala mendesirkan gemericik pasir dan hawa yang amat panas pada tengkuk. 

Ribuan orang seirama bertiarap di jalan-jalan lalu kembali berlari menuju arah selatan tanpa tahu mau kemana tujuan akhirnya. Desir panas datang dari roket yang meluncur tak tentu arah kearah timur dan beruntung hanya beberapa kearah selatan tempat arah kami berusaha mengungsi, sebuah pilihan yang tepat yang hanya Tuhan saja yang tahu mengapa semua orang memilih arah itu. 

Roket itu melesat silih berganti bagai tiada kendali dan bunyi dentuman beberapa ton besi yang panjang menghujam tanah kebun-kebun yang kami lalui siap mencabut nyawa ribuan orang yang jatuh bangun bertiarap dan berdiri dengan teriakan masing-masing. Dalam kilatan cahaya yang menerangi gulita malam itu  sebuah mobil berjalan perlahan bersama dibelakang kami sekeluarga dan sorot lampunya menandai punggung kami lalu terdengar teriakan orang dari dalamnya mengajak kami sekeluarga untuk ikut ke dalam mobil itu. 

Mereka tetangga  jauh yang mengenali ibu karena ibu sering membuatkan pakaian untuknya. Karena kami masuk rombongan pertama, jalan masih memungkinkan untuk ditembus, sementara dibelakang kami lautan manusia harus berjalan tertatih tatih, jatuh bangun menuju tempat yang aman sejauh mungkin menghindar lokasi ledakan. Tuhan memberikan kendaraan cepat untuk kami meninggalkan epicentrum ledakan yang merontokkan fondasi dan dinding-dinding rumah yang kami tinggalkan juga rumah-rumah lain.

Kami tiba dengan cepat di kawasan Pondok Cina dibanding mereka yang tak beruntung hingga mereka harus terus menyusuri jalan yang panjang dimalam itu. Ketika tiba di tanah yang datar depan halte Universitas Indonesia yang kala itu masih belum beroperasi, kami memandang kearah utara melihat langit memerah meletup letup dengan bara yang membumbung serta kilatan roket yang melintas diangkasa siap memangsa apa saja yang ada di depannya. 

Sekonyong-konyong ditengah doa untuk para tetangga dan kawan-kawan yang tengah berjalan mengungsi, sebuah ledakan maha dahsyat berbentuk cendawan menghantam wajah-wajah yang cemas, buliran pasir yang terhempas dari arah utara membuat sebuah desingan hebat hingga membuat kami tersungkur di jarak yang demikian jauh dari tempat ledakan. Semua kembali ke mobil dan meneruskan perjalanan menuju depok tempat dimana beberapa kerabat yang mau menampung kami sebagai pengungsi. Tak ada pilihan untuk berhenti.

Malam itu seluruh wilayah Jakarta selatan dan timur morat-marit, roket berdentam ke tanah menghajar apa saja dibumi nyaris tak ada yang menghentikannya. Sungguh suatu kemurahan Tuhan, tak ada satupun roket itu meledak pada titik jatuhnya hingga korban tak banyak jatuh karena ledakan, padahal di dalam gudang itu terlontar peluru dan rudal berjenis roket berjarak tembak 15 km yang bila peluru ini meledak, manusia yang berada 100 meter dari ledakan akan muntah darah karena jantungnya tergetar. Kemudian ada howitzer 140 mm, ada peluru-peluru meriam anti Tank. Juga di situ disimpan bahan peledak TNT dalam pak-pak lima pon (TEMPO).

Malam itu kami tidur dalam pengungsian, disebuah rumah seorang wartawan di Depok. Sementara ayah yang bergegas menuju rumah kami di tengah tugasnya hanya bisa berdiri di lapangan seberang Trakindo bersama Pangab Jenderal L.B. Moerdani, Pangdam V Jaya Mayor Jenderal Try Sutrisno, Kapolri Jenderal Anton Sudjarwo, dan Kapolda Metro Jaya Mayjen Soedarmadji yang sama sama berada dilokasi itu dan tak sengaja bertemu  karena tak mungkin untuk bergerak meninjau langsung ke lokasi lebih dekat. 

Dalam catatan beberapa majalah dan Koran seperti Tempo, Sekitar 370 pasien diungsikan ke berbagai tempat seperti di  RS Pertamina, RS  Jakarta,  Gereja HKBP, Balai Rakyat, Masjid - yang berlokasi agak jauh dari gudang mesiu itu.  Dua pasien meninggal karena  serangan jantung. Ada  35 bayi dapat diungsikan, tapi tanda pengenal bayi tak sempat dipasang.

Dalam catatan  berita, Setelah semua pasien diungsikan, baru sebuah peluru menghajar Asrama Putri II. Peluru itu menembus tembok, tembok pun hancur. Sebuah pesawat televisi masih tampak utuh terjepit reruntuhan tembok. Dalam ledakan malam itu para Marinir menyelamatkan tank dan panser menjauhi tempat kebakaran, sementara puluhan mobil pemadam kebakaran  yang semula berniat memadamkan api langsung berbalik arah karena yang dihadapi adalah enam buah gudang peluru. Satu kendaraan tertinggal dilokasi karena kepanikan yang terjadi. 

Hingga esok paginya, bapak tak tahu dimana kami berada demikian juga kami tak tahu beliau dimana. Saat itu tak ada mobile phone yang bisa saling memberi kabar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun