Mohon tunggu...
arum yuana
arum yuana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kemewahan Dunia Melupakan Tanggung Jawab Orang Tua

21 Mei 2015   16:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:44 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kasus penelantaran anak-anak oleh orang tua sendiri yang terjadi baru-baru ini memberikan pelajaran berharga bagi para orang tua, anak, maupun pemerintah dan negara. Tidak cukup mendapatkan kasih sayang dan perhatian serta tak dicukupinya kebutuhan jasmani dan rohani anak merupakan pengingkaran besar terhadap keberadaan anak dan hak-hak yang melekat pada dirinya. Apabila di rumah sendiri saja anak tak diakui, tak dilindungi dan tak dijamin hak-haknya lalu bagaimana mereka bisa tumbuh menjadi orang yang memiliki kepekaan terhadap hal-hal di sekitarnya?

Selain kebutuhan jasmani, pemenuhan kebutuhan rohani juga tak kalah penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Kebutuhan rohani itu seperti pemberian rasa kasih sayang, kehangatan dan kenyamanan dalam keluarga sehingga anak merasa bahwa dirinya berharga dan kehadirannya sangat dibutuhkan. Perlakuan orang tua terhadap anak bisa dijadikan bekal oleh anak dalam memperlakukan orang lain karena mereka biasanya meneladani sikap dan perilaku orang tuanya. Apabila orang tua memberikan kasih sayang dan kehangatan, bimbingan dan arahan serta melindungi dan menjamin hak-hak anak maka anak akan tumbuh menjadi seseorang yang menghargai dan mengakui pula orang-orang di lingkungannya. Sebaliknya, ketika anak tidak dilindungi bahkan tidak diakui oleh orang tuanya sendiri maka yang terjadi adalah anak merasa tidak dibutuhkan, tidak ada gairah tinggi pada kehidupan dan dampak bagi lingkungannya adalah rendahnya rasa penghargaan mereka terhadap orang lain.

Hak Narapidana dan Hak Anak

Ada beberapa hak-hak manusia yang tidak dapat diderogasi dalam keadaan apupun dan oleh siapapun. Demikian pula dengan seorang narapidana yang telah melanggar hukum bahkan telah mengurangi, merampas dan mencabut hak seseorang yang menjadi korban kejahatannya. Sesuai dengan pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, hak-hak yang tidak bisa dicabut itu adalah hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

Kemudian apabila melihat pasal 14 UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan diatur pula hak-hak narapidana, diantaranya adalah hak beribadah, mendapat perawatan, pendidikan dan pengajaran, pelayanan kesehatan dan makanan yang layak, menyampaikan keluhan, mendapatkan bahan bacaan dan siaran media massa, dan hak-hak lain yang berhubungan dengan masa pidana.

Berdasarkan kedua peraturan tersebut maka dapat kita pahami bahwa negara saja berusaha memberikan jaminan dan perlindungan kepada setiap warga negara termasuk narapidana, tetapi dalam kasus ini mengapa justru orang tua yang merupakan orang terdekat dengan anak tidak mau melindungi dan menjamin segala kebutuhan yang menjadi hak anaknya sendiri. Dalam hubungannya dengan hak narapidana tadi adalah ketika anak ditelantarkan maka dia tidak diberi perawatan, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan makanan yang layak yang kesemua itu menjadi kewajiban orang tua padahal dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak juga disebutkan hak-hak seperti di atas yang melekat pada anak dan diatur pula hak anak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri (pasal 7).

Tanggung Jawab Hukum dan Tanggung Jawab Moral

Berkaca dari kasus penelantaran anak ini maka bisa dilihat bahwa orang tua penelantar tersebut menganggap anak hanya sebagai obyek yang harus menerima segala perlakuan terhadapnya tanpa diberi kesempatan untuk berbicara apalagi menuntut. Setiap manusia harus dianggap sebagai subyek, begitu pula dengan narapidana yang dalam sistem pemasyarakatan sekarang tidak hanya dilihat sebagai obyek yang harus selalu menerima perlakuan tetapi juga sebagai subyek yang harus dibina kepribadian dan kemandiriannya. Menganggap anak sebagai subyek berarti memberikan anak kesempatan untuk menyatakan keinginannya, pendapatnya dan melakukan hal yang disenanginya disertai dengan bimbingan dan arahan orang tua.

Mengasuh anak tidak hanya sekedar menjadi tanggung jawab hukum saja tetapi juga suatu tanggung jawab moral. Tanggung jawab hukum seperti yang diatur dalam pasal 26 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2002 mengenai kewajiban dan tanggung jawab orang tua yaitu mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak, menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya, dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Apabila orang tua meninggalkan kewajiban tersebut sehingga menyebabkan penelantaran anak dan akibatnya anak mengalami sakit atau penderitaan baik fisik, mental maupun sosial diancam dengan pidana paling lama 5 tahun dan pidana denda sesuai ketentuan pasal 77 UU Perlindungan Anak. Dengan adanya ketentuan tersebut jelas bahwa mengasuh, mendidik dan melindungi anak adalah tanggung jawab secara hukum untuk orang tua. Namun kenyataannya peraturan saja tidak cukup untuk membuat orang tua berpikir ulang ketika akan melakukan perbuatan yang menyimpangi tanggung jawabnya tersebut.

Sementara itu mengasuh, mendidik dan melindungi anak sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab orang tua dan kesemua itu merupakan aspek moral orang tua dalam memperlakukan anaknya. Kesadaran orang tua sebagai pendidik pertama di dalam keluarga adalah hal yang sangat penting karena merupakan suatu kewajaran apabila orang tua mendidik dan mengasuh anaknya dengan rasa senang dan ikhlas. Sebaliknya, akan menjadi tidak wajar ketika orang tua meninggalkan kewajiban dan tanggung jawabnya tersebut.

Seperti yang kita ketahui bahwa ternyata selain menelantarkan anak-anaknya, orang tua tersebut juga dalam pengaruh psikotropika. Lagi-lagi kita mendengar tentang dahsyatnya efek narkoba yang menjadi salah satu pemicu perilaku buruk para pengonsumsinya. Untuk bisa mendapatkan barang haram sekaligus mahal tersebut tentunya dibutuhkan banyak uang. Dari sini kita bisa melihat bahwa tentunya orang tua tersebut termasuk orang menengah ke atas yang seharusnya bisa mencukupi kebutuhan anak. Apalagi jika dilihat dari luar, rumahnya tidak sederhana dengan mobilnya yang juga tak kalah mewah, bisa dipastikan bahwa orang tua tersebut sangat berkecukupan. Namun realitanya kehidupan yang serba kecukupan tidak menjamin kualitas kesejahteraan dan kualitas moral seseorang, bahkan justru bisa jadi pendorong untuk terjerumus ke bayangan hitam yang menawarkan kenikmatan sesaat yang dusta seperti yang terjadi dalam kasus ini yaitu terjerat obat-obatan terlarang hingga lupa pada tanggung jawabnya sebagai orang tua. Orang tua penelantar tersebut hanya berstatus sebagai orang yang berpendidikan tinggi tetapi pengetahuan yang dimiliki sebatas teori saja bukan praktik untuk membawa kemanfaatan dan tidak bisa memberikan kontribusi kepada mereka dalam memperlakukan dan melindungi anak-anaknya.

Anak adalah harta berharga yang tidak hanya dimiliki oleh orang tua tetapi juga dimiliki oleh negara sebagai generasi yang akan meneruskan pembangunan pemerintahan dan negara. Sebagai bentuk perlindungan hukum kepada anak, negara melahirkan UU Perlindungan Anak dan membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPAI telah mengambil langkah dengan memberi pendampingan kepada anak yang ditelantarkan dan menempatkan mereka di save house agar kondisi fisik dan mentalnya menjadi stabil dan tidak lagi depresi. Sedangkan proses hukum untuk memeriksa dan menindaklanjuti kasus penelantaran anak ini masih berjalan dan ditangani oleh pihak yang berwenang.

Kasus ini hanya merupakan salah satu dari sejuta kasus penelantaran anak yang terekspos oleh media karena sebagaimana kita ketahui bahwa di luar yang terlihat masih ada yang tidak terlihat yaitu banyaknya anak-anak jalanan dan gelandangan yang sama-sama terlantar. Jangan sampai pasal 34 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 hanya sekedar wacana saja tanpa ada usaha untuk mengimplementasikannya. Harapan ke depannya yakni setelah ada kasus ini maka semua orang akan memahami bahwa penelantaran anak merupakan pencabutan masa-masa istimewanya dan diancam pula dengan sanksi hukum yang seharusnya diperberat sehingga kasus kekerasan anak bisa diminimalkan sekaligus menjadi pelajaran bagi orang tua untuk lebih baik dalam memberikan pengasuhan dan perlindungan kepada anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun