[caption id="attachment_323370" align="aligncenter" width="300" caption="Kompas.com: Anggito Abimanyu (jaket hitam)"][/caption]
Setahu saya: Aturan plagiat hanya menyentuh pada tataran bentuk, yaitu bentuk kalimat, ungkapan atau ada istilah khusus yang digunakan sama dengan sumbernya, tidak sampai kepada tataran konsep (makna). Misalnya kalimat Saya suka kamu, orang tidak disebut plagiat ketika menggunakan kalimat lain tapi konsepnya sama, misalnya saya cinta kamu. Contoh lain adalah bagaimana jika sudah ada ungkapan yang sudah menjadi universal atau bentuk-bentuk produk yang sudah menjadi umum. Misalnya bentuk Hp, tablet, yang pernah dituduhkan Samsung karena dianggap meniru model hp dari merek lain, padahal model hp itu sudah menjadi umum. Ketika suatu model sudah menjadi generik seperti HP, maka tidak bisa dikatakan lagi tindakan meniru, mencuri dan sebagainya. Plagiat hanya pada tataran penanda (bentuk) bukan pada tataran petanda (konsep).
Begitu ungkap seorang kerabat penulis, Muhammad Hasyim.
SAAT masih muda dulu, Kompasianer Makassar ini pun pernah melakukan plagiat atas karya orang lain walau saya memberitahu kepada korban yang juga temanku. Dengan bahasa ringan, penulis berkata: "Weh proposalku belum jadi ces, deadline besok, moka jiplak proposalmu untuk pengabdian" (Waduh, proposalku belum jadi kawan, deadline besok, saya mau jiplak proposalmu). Jawab kawan dosen mudaku saat itu: "Jiplak saja, toh saya ndak pake".
Nah, yang saya lakukan ini, jelas bukan kelalaian. Ini murni niat yang 'baik' untuk sebuah proyek. Dan, saya nyaris berkata bahwa dosen-dosen di perguruan tinggi sangat rentan dengan mentalitas plagiasi.
Anggito Korbankan KOMPAS
Mega Trend diskusi, di medio februari ini adalah kontra masyarakat terhadap 'ulah' Anggito, telah merugikan KOMPAS dan juga merugikan masyarakat. Karena memberi pelajaran yang tak bagus kepada warga pembaca. Pun koran cetak KOMPAS tersabet cibiran bahwa koran sekaliber KOMPAS, lagi-lagi kecolongan. Walau, saya sebagai pembaca KOMPAS, tak surut menikmati sajiannya 'hanya' sepak terjang seorang penulis bernama Anggito Abimanyu itu.
Lantas apa hukuman bagi keduanya, untuk kasus desk opini KOMPAS, saya benar-benar tak melek soal aturan internal di media besar itu. Dipastikan bahwa surat kabar itu, pun memiliki rambu-rambur ketika awaknya melanggar marka-marka (baik sengaja mau tanpa sengaja)
Lantas, bagaimana dengan Anggito di zona perguruan tinggi yang tempati berabdi-abdi selama puluhan tahun. Hemmmm, penulis meyakini bahwa Anggito pasti dapat sanksi. Malahpun, bertolak dari Kode Etik Dosen UGM:Â Pelanggaran terhadap Kode Etik Dosen dapat dikenakan sanksi moral dan sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Alot Secara empiris, setiap pelanggaran yang diajukan dan diterima komite etik, menyita waktu, sebab dari puluhan (guru besar dan pakar plus dosen biasa) yang duduk di komite ini, akan membahas dan membahasakannya dari beragam tilikan, bermacam parameter dan aneka sudut pandang akan sebuah kasus dosen. Namun, menatap pasal di Kode Etik Dosen Uinversitas Gadjah Mada, terutama di ini :Â sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di pasal ini, jelas sangat lempem. Satu-satunya yang konkrit di pasal itu adalah sanksi moral, selain dari itu adalah grey, bisa skewed to the left, bisa to the right. Kode etik setiap perguruan tinggi berbeda-beda, sangat tergantung pembuatan kode etik itu di agenda khusus RAPAT SENAT UNIVERSITAS, yang dipimpin ketua senat yakni rektor. Jika UGM hanya cukup dengan pasal: sanksi moral dan sanksi lainnya, maka di Universitas Hasanuddin tidak sesederhana itu sebab di dalam TATA ATURAN KAMPUS UNHAS, disebutkan dengan detail: sanksi ringan, sedang dan berat. Kedua kode etik ini, sama baiknya, pun sama buruknya. Toh yang final decision, akhirnya adalah rapat komite juga. Pasal tinggallah pasal. Selanjutnya, soal permintaan resign Anggito dari UGM, itu sepenuhnya langsung diputuskan sepihak dari Anggito, sebab apapun adanya, faktanya adalah Anggito itu investasi UGM, dia adalah aset. Dan kasusnya juga unik karena terkategori dalam "pasal kelalaian" yakni kesalahan dalam mencomot file. Identik ketika saya mengirim email kepada Anda, dan ternyata fileku salah ambil, Anda boleh reply emailku dengan kalimat: "Maaf, Â file yang Anda kirimkan sepertinya salah. Tolong diperiksa kembali". So, kita menanti apa keputusan yang terbaik dari Komite Etik UGM, terbaik bagi UGM, terbaik untuk Anggito dan terbaik bagi masyarakat sebagai konsumen KOMPAS sekaligus user universitas. --------------- Penulis: Ketua Bagian Promosi Kesehatan dan Behavior Science Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar-Sulawesi Selatan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI