Saat penulis tonton Presiden RI merangkap calon presiden 2019, Joko Widodo menggulung lengan baju. Â Gumamku: "Fashionable and stylist". Saat penulis saksikan Calon Presiden RI, Prabowo Subianto menari. Gumamku (lagi): "This is entertainment. I like it". Â Lalu, tampak pijatan spontan ala Salahuddin Sandiaga Uno, respon psikologik penulis: "Wow, relax in seriously".Â
Saat Kyai Ma'ruf berbicara pelan dan memapar dalil singkat, nampaklah sosok smart dari beliau, cerminan ulama. Kala, Pak Jokowi memiliki inisiatif awal, melangkah menuju Paslon 02, berpelukan! ini pemandangan indah buatku.
Ira Koesno yang cantik, malam itu. Jelas ini pun sebuah keindahan, anugerah Tuhan. Saat mereka (capres) jual-beli serangan, penulis cemas dan gugup batin, tetapi kedua pasangan sama sabarnya dalam bertahan. Hmmm, ini lagi-lagi pemadangan indah, cantik, elegan dan esksotik buatku. Penulis mengerti, ini negara, calon-calon presdien dan calon wakil presiden baru belajar berdebat, sedang masyarakat sudah lama pintar berkomentar -selama itu manusiawi- terhadap fenomena sosial-politik.
Dua moderator memeringatkan berkali-kali bahwa pertanyaan hanya dibaca satu kali dan ke-empat Tokoh Nasional itu tidak memrotes, pertanda setuju. Dua moderator ini hebat, sanggup memeringati 'orang-orang besar' di negeri ini.Â
Inipun pemandangan bermakna bagiku bahwa tiap-tiap calon presiden atau presiden, kita juga memiliki hak suara untuk mengingatkan -bukan semata hak suara di TPS- kepada penguasa namun dengan perkataan yang baik, tentunya. Identik dengan khutbah Jum'at yang setia mengingatkan jamaah untuk bertaqwa, juga dengan bahasa yang lembut-adem-humanis.
Saat Salahuddin Sandiaga Uno mencium punggung tangan Kyai Ma'ruf Amin. Lagi-lagi: "Hmmm, dia cium ilmunya Kyai Ma'ruf". Indah itu! Begitu kira-kira penulis ajarkan kepada anak-anakku bahwa mencium tangan ayah bukanlah sebuah sesembahan tetapi penghormatan kepada sosok ayah sebagai "Penanggung jawab ekonomi-sosial-budaya di tingkat rumah tangga.Â
Iya, ayah itu Ketua Rumah Tangga". Sedang sosok ibu ialah menteri pendidikan, sekaligus 'menteri kelembutan' di keluarga tentang tata cara bertutur, adat-istiadat dan struktur interaksi dan dinamika sosial. Wah, canggih istilahnya.
Saat, pendukung ber yel-yel yang kadang diingatkan Ira Koesno dan partner nya, Mas Imam Priyono. Penulis tertawa senyam sebab itu hal-hal yang sulit dilarang, itu reaksi spontan kejiwaan.Â
Tanpa sorak-sorak itu (asal tak berteriak keras, red) maka acara nasional itu hambar jadinya. Mereka datang memang untuk bersorak, mosok diam. Kan, jadi aneh kalau sebuah pertandingan tanpa sorakan, hore-hore. Yel-yel itupun, penulis kategorikan sebagai kenikmatan tersendiri. Penulis jadinya ter-memori dengan ucapan pesepakbola Brasil, Ronaldo: "Sorakan penontonlah, membuat segalanya jadi indah".
Saat Pak Jokowi kadang membaca teks, itu pertunjukan kehati-hatian dalam berbicara. Dan, itu manusiawi. Saat, Pak Prabowo berbicara lepas namun terkendali, itu juga sebuah potret yang beautiful. Â
Penulis menikmati debat itu, karena penulis sudah bernawaitu dengan diri ini, berjanji dengan diriku bahwa saya akan menontonnya dengan positivistik, melarutkan diri dalam senyum dan menggunakan akal baik. Begitulah 'persiapanku' dalam menonton debat yang indah itu.