Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Salah Satu Cara Menjadi Kaya ala Kampung Saya

7 Februari 2017   21:37 Diperbarui: 7 Februari 2017   22:03 1001
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hidup bergelimang harta, segala kebutuhan gampang terpenuhinya, bisa jadi merupakan cita-cita sebagian besar, bahkan mungkin saja semua, manusia di muka bumi ini.

Betapa tidak, kita perhatikan mereka yang ada di sekitar kita, dan bisa jadi termasuk kita sendiri juga. Sejak bangun tidur, malahan di saat orang lain masih terbuai mimpi, begitu banyak orang yang telah sibuk mengais rejeki, mengumpulkan pundi-pundi uang, dengan segala macam caranya masing-masing. Terlepas dari  apakah itu dengan cara halal, atawa dengan melanggar tatanan kehidupan.

Di antara mereka kita temui begitu banyak yang mampu mewujudkan cita-citanya itu. Sukses menjadi orang yang hidup berkecukupan. Bahkan mungkin juga melampui dari yang diharapkan semula. Tidak sekedar cukup sandang, pangan, maupun papan. Melainkan menjadi konglomerat yang memiliki harta kekayaan yang tidak akan habis sampai tujuh turunan.

Akan tetapi bila kita perhatikan lebih cermat lagi, dalam kenyataannya bila dibandingkan antara orang yang berhasil dengan orang yang menemui kegagalan dalam mewujudkan cita-cita untuk menjadi kaya, ternyata lebih banyak lagi mereka yang disebut terahir tadi. Kalau pun tidak disebut gagal, paling tidak hidup pas-pasan, atawa hasil dari usaha dengan banting-tulang, sampai muncul pameo: Kepala dijadikan kaki, dan kaki berubah fungsi jadi kepala sekalipun, tetap saja gitu-gitu aja.  Malahan tak aneh lagi bila menemui orang yang kesehariannya hanya mampu hidup dengan cara gali lobang dan tutup lobang.

Mengapa demikian?

Karena mereka sendiri ternyata hanya memiliki cita-cita untuk menjadi kaya, tanpa mengetahui bagaimana cara untuk mewujudkan cita-citanya itu.

Bahkan bisa jadi juga, mereka sudah mengetahuinya, hanya saja tidak mampu untuk melaksanakan kiat-kiat, atawa pedoman jadi orang kaya-raya. Karena, seperti harus hidup hemat – menyisihkan sebagian hasil usahanya untuk ditabung; juga bekerja dengan rajin dan tekun, dibarengi hati yang tulus; dalam kenyataannya malahan justru sebaliknya.

Begitu banyak orang yang hidup sesuai peribahasa: Besar pasak dari tiang. Lebih besar pengeluaran daripada penghasilan. Apalagi dengan kondisi dewasa ini, godaan untuk menghamburkan penghasilan demi hasrat sesaat demikian banyak.

Sementara dalam bekerja, atawa usahanya, selain karena keterampilan yang terbatas, dalam melakukannya pun cenderung asal-asalan. Pokoknya asal terima bayaran. Pokoknya asal bisa bayar utang. Pokoknya asal hari ini bisa makan. Pokoknya seribu kata ‘pokok’ yang dijadikan dalih seakan telah menjadi bagian keseharian yang sering terdengar.

Ya, sepertinya begitu banyak orang yang cenderung bersikap demikian. Mereka telah kalah sebelum mencapai medan perang yang sesungguhnya. Karena memang yang demikian itu jiwanya rapuh. Cengeng. Menghadapi rintangan – yang bisa jadi sebagai satu ujian di saat satu langkah lagi akan terwujudnya impian itu - malah dengan entengnya segera putar badan, kemudian balik lagi ke belakang. Sudah nasibnya memang harus selalu hidup dalam kesusahan. Begitu yang kemudian terlontar, dan begitu selalu dikatakan.

Setelah menemui kegagalan demi kegagalan, tak sedikit pula banyak yang menjadi putus asa. Untuk bangkit kembali, seakan tak mampu lagi. Malahan tak sedikit yang malah mencari pelarian. Bermain kartu misalnya. Hiburan, untuk mengobati kepala yang mumet, adalah alasan klasik manakala seseorang memberi teguran. Bermula dari iseng-iseng sebagai hiburan, lalu meningkat dengan taruhan uang recehan. Sementara modal untuk itu, tak peduli uang untuk beli beras,  karena siapa tahu nanti malah bertambah banyak usai bermain kartu gaple atawa remi yang biasa dilakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun