Secara politik, relasi Golkar dan PDI-P dapat diibaratkan seperti ini; sedang berteman, namun tak menciptakan asmara, bukan teman tapi mesra.
Hanya sebagai teman, loyalitas itu perlu bahkan amat perlu, meski tak mencinta, tapi harus tetap ada saat nongkrong, bahkan ikut serta ketika harus saling bantu demi kebersamaan. Koalisi, begitu politik menyebutnya.
Inilah yang terasa mengherankan ketika, kedua teman ini saling berbeda pendapat soal Pilkada 2022 atau serentak di 2024.
Jadi sebelumnya sudah dibuat undang-undang bahwa akan dilaksanakan pilkada serentak pada 2024 nanti, namun saat ini sedang diusahakan secara politik agar pilkada 2022 akan dilaksanakan.
Secara khusus, jika revisi ini disahkan maka, Pilkada DKI 2022 menjadi salah satu yang pasti akan dilaksanakan.
PDI-P sendiri, kemarin, melalui Ketua DPP PDI-P, Djarot Saiful Hidayat menyatakan bahwa revisi undang-undang ini tidak mendesak.
Persoalan pilkada serentak yang dikuatirkan akan sulit, menurut Djarot hanya soal teknis pelaksanaan, bukan di esensi undang-undangnya.
"Evaluasi Pilkada penting, namun belum mengarah pada urgensi perubahan UU Pilkada," kata  Djarot Saiful Hidayat, Rabu (27/1).
Karena itu, Djarot bersama PDI-P merasa Pilkada 2024 tetap dapat dilaksanakan yang berarti Pilkada 2020 tidak perlu diadakan.
Berbeda dengan PDI-P, Golkar mengambil sikap bahwa Pilkada 2022 tetap perlu dilaksanakan, ini berarti revisi undang-undang itu dirasa perlu oleh partai berlambang beringin ini.