Mengingat 2017 dalam kacamata sepak bola ibarat kita berada di depan cermin. Bercermin sejatinya bukan sekedar ilusi untuk mendapatkan sebuah pujian, kepercayaan diri namun juga memperlihatkan sesuatu yang apa adanya.
Apa adanya dan cermin ini mengingatkan akan pemikiran filsuf asal Jerman bernama Edmund Husserl. Dalam fenomenologi ala Husserl dikatakan inti dasarnya adalah zurck zu den Sachen selbst, kembali ke obyek atau pada dirinya sendiri. Memantulkan dunia sebagaimana adanya.
Setuju dengan Husserl, bagi saya menikmati dan memuja sepak bola dapat berarti mengajak orang untuk melihat dunia apa adanya melalui sepak bola. Namun bukan berarti bahwa apa adanya itu jauh dari keistimewaan.
Keistimewaan itu akan sontak muncul ketika eksistensi kesadaran pereguk mampu mematri realitas kehidupan dengan kejadian sepak bola ataupun dibalik peristiwa itu sendiri.
Tatkala itu terjadi maka kehidupan terasa sangat berjiwa,  jauh dari kosongnya sepi. Paling tidak ada 5 (lima) narasi sepak bola menurut saya sebagai penulis yang  dapat melahirkan senyum cerah kebahagiaan dalam eksistensi kesadaran itu. Citra kesadaran itu dimulai  dengan keajaiban yang dilakukan seorang pesepakbola Indonesia berdarah Uruguay bernama Christian Gonzales.Â
Penampilan epik dari pria yang sudah berusia 40 tahun itu, membahasakan semangat tanpa henti. Tidak mau menyerah, Gonzales melakukan keajaiban dengan mencetak 5 gol sekaligus, Quin-tricck. Arema akhirnya lolos dengan kemenangan telak, 5-2.
Keajaiban itu terjadi karena Gonzales tidak mau berada dalam kenyamanan ketika tertinggal dan menyerah pada nasib bernama usia. Menurut Prof. Rhenald Khasali, orang yang dalam kondisi nyaman, biasanya takut mencari jalan keluar atau takut tersesat di jalan buntu. Padahal solusinya menurut Khasali, mudah sekali, Â yakni : putar arah saja, dan bedakan antara dead end (jalan buntu) dan detour (jalan berputar). Ketika prinsip itu berhasil dipahami dan terus berusaha maka keajaiban akan terjadi.
Apa yang dikatakan oleh Prof. Rhenald Khasali itu memang benar, namun teori itu tetaplah hal yang tidak mudah untuk dilakukan. Menurut Khasali, hanya "orang gila" saja yang mampu mempraktekkan itu dengan 'sempurna".Â
Hal itulah yang akhirnya  dilakukan oleh "orang gila", El Loco, julukan Christian Gonzales. Kegilaan di dalam hal mau meninggalkan zona nyaman atau zona berbahaya , langkah besar yang yang dapat membuat Gonzales dan kita dapat memaksimalkan potensi kita.
Dimensi lain yang menarik keterhubungan sepak bola dan kehidupan melahirkan kesadaran untuk mempersatukan. Hal ini bercermin dari rivalitas sengit antar klub sepak bola dan mencoba mengambil inspirasi dari balik kisah itu. Seperti Derby della Mole, Juventus versus Torino yang merupakan salah satu rivalitas terpanas di Italia, kendati keduanya berasal dari satu kota, Turin.