Education is a continual process, it's like a bicycle... If you don't pedal you don't go forward.
George Weah
September 2005. Puluhan orang menari-nari di depan lapangan udara Monrovia, ibu kota Liberia dengan meneriakan nama orang yang diperkirakan akan menjadi juru selamat bagi negara mereka. Â "George Weah, George Weah".
Ya, George Weah. Pemain terbaik dunia tahun 1995 yang memutuskan untuk ikut pemilihan Presiden di negaranya pada November tahun sebelumnya. Weah yang baru saja pensiun dari dunia sepak bola dan saat itu berusia 38 tahun dianggap layak untuk memimpin negara yang dilanda perang saudara selama 14 tahun itu.
Namun modal gelar sebagai satu-satunya pemain Afrika yang pernah meraih gelar pemain terbaik dunia tidak cukup bagi Weah. Bahkan tarian sihir yang diperlihatkannya di lapangan hijau dengan mengecoh 7 pemain Verona sebelum mencetak gol di  San Siro bersama AC Milan pada September 1996 tidak ada harganya ketika politik yang diperlombakan. Weah kalah telak.
Weah boleh dijuluki sebagai King George di lapangan hijau namun di langit dunia politik, King George harus bertekuk lutut dari Ellen Johnson-Sirleaf. Sirleaf bukan saja dianggap berpengalaman karena pernah menjadi menteri keuangan, tetapi juga dianggap lebih pantas karena seorang lulusan Harvard di bidang ekonomi. Weah kalah karena dianggap tidak mempunyai gelar pendidikan.
Bukan sekali Weah harus kalah dari Sirleaf, enam tahun kemudian (2011) Weah mencoba lagi sebagai seorang wakil presiden, namun lagi-lagi Weah harus menyerah kalah dari Sirleaf. Weah dicela lagi karena dianggap tidak mempunyai gelar sarjana.
Weah menyerah?. Tidak, disinilah kekuatan karakter Weah yang dibentuk dalam kehidupannya terlihat jelas. Sejak kecil Weah sudah ditinggalkan ayahnya yang meninggal dunia. "Ayah saya meninggal pada waktu saya masih sangat kecil. Saya diasuh nenek saya, Emma, kita hanya sekali makan ayam dalam setahun, yaitu waktu natal" kenang Weah.
Weah adalah seorang pejuang. Hidup susah, perjuangannya dimulai dengan fokus pada sesuatu yang menjadi kekuatannya, yaitu menjadi pemain sepak bola.
Akhirnya Weah yang dan dibesarkan di lingkungan kumuh Monrovia berjuang dan akhirnya dapat diterima bermain di salah satu klub elit di Perancis, AS Monaco pada tahun 1988. Tantangan tak berhenti dihadapi oleh Weah muda, di awal karirnya itu, Weah dicela dengan ejekan dan ujaran rasialisme yang kuat baik di klub dan juga di Perancis.