6 Juni 2025 ~ Pagi itu aku bangun dengan hati yang sangat ceria. Hari ini adalah hari yang selalu kunanti, yaitu hari raya Idul Adha. Bagi sebagian orang, mungkin hari raya hanya sekadar momen libur atau rutinitas tahunan. Tapi bagiku, Idul Adha adalah waktu yang langka, saat di mana aku bisa merasakan kebersamaan bersama keluarga dan masyarakat desa. Di luar hari besar seperti ini, sangat jarang kami bisa berkumpul dalam suasana hangat seperti ini. Hanya sekali dalam setahun, jadi rasanya wajar jika aku ingin benar-benar menikmatinya tanpa memikirkan beban dan masalah.
Pagi itu terasa sejuk, penuh ketenangan. Aku melangkah dengan nada hati yang gembira menuju masjid desa. Suasana masjid pun begitu berbeda dari hari biasanya. Deretan mukena putih yang dikenakan para perempuan tampak rapi, bersih, dan serasi. Masjid begitu ramai. Tak hanya orang dewasa, anak-anak dan balita pun tampak hadir bersama orang tuanya. Yang biasanya berlarian atau menangis, pagi itu mereka tampak tenang, ikut sholat berjamaah dengan tertib. Aku merasa damai. Suasana shalat Idul adha kali ini begitu khidmat, hening, dan syahdu. Rasanya semua yang hadir sama-sama mengharapkan keberkahan turun dari langit di pagi yang agung.
Setelah shalat selesai, para jamaah keluar masjid bersama-sama, berbincang dan tertawa satu sama lain. Biasanya setelah sholat Id akan ada prosesi penyembelihan hewan kurban, tetapi karena hari itu jatuh pada hari Jumat, (hari yang pendek karena terpotong oleh salat Jumat) penyembelihan ditunda keesokan harinya. Maka, hari itu aku manfaatkan untuk hal lain, yaitu lanjut mengerjakan tugas-tugas kuliah yang menumpuk. Walau sempat terganggu oleh suasana libur, aku mencoba untuk tetap produktif.
7 Juni 2025 ~ Keesokan harinya, pengumuman dari masjid pun terdengar: penyembelihan hewan kurban akan dimulai pagi itu. Selang satu hingga dua jam, seluruh warga desa mulai berdatangan. Ada yang datang membawa pisau, baskom, bahkan tikar. Mereka datang bukan sebagai penonton, tapi juga sebagai bagian dari prosesi.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, para laki-laki bertugas menyembelih, menguliti, memotong daging dari tulangnya, hingga membersihkan jeroan. Sementara itu, para perempuan berkumpul di dapur desa, memotong daging, dan memasak sebagian untuk disantap bersama. Timbangan daging akan di timbang bersama-sama nantinya sesuai dengan syariat yang ada. Setiap orang memiliki tugas, dan setiap tugas dikerjakan dengan semangat dan kegembiraan. Meski semua orang akhirnya memiliki aroma yang sama, aroma khas daging kurban yang menyengat, tak ada yang mengeluh. Aroma itu seakan menjadi simbol kebersamaan. Mungkin bukan bau yang menyenangkan, tapi suasana yang menyertainya adalah sesuatu yang tak tergantikan.
Sekitar waktu dzuhur, semua pekerjaan mulai rampung. Dari dapur, aroma gulai daging mulai menyebar. Kami pun diminta untuk makan siang bersama-sama. Setelah itu aku dan sepupuku pulang untuk membersihkan diri dari aroma daging, lalu lebih memilih sholat dzuhur di rumah. Setelah itu, seperti sudah menjadi tradisi kecil kami, kami janjian untuk bertemu dan jajan bareng. Hal-hal kecil seperti itu kadang yang paling membekas.
Malam harinya, giliran para pemuda dan pemudi yang mengambil peran. Kami punya agenda rutin dua minggu sekali berupa rapat dan arisan. Tapi karena bertepatan dengan Idul Adha, rapat kali ini diganti dengan acara yang jauh lebih seru: bakar-bakar daging.
Para pemudi mulai memotong-motong daging, mencuci lalapan, menyiapkan bumbu, dan memarinasi daging. Tak lupa, sambal juga dibuat (elemen penting yang tidak boleh terlewatkan). Sementara itu, para pemuda menyalakan arang dan memanggang daging dengan antusias. Canda tawa terdengar di mana-mana. Meski peluh bercucuran dan asap mengepul dari pembakaran, tak seorang pun tampak lelah. Saat sate daging akhirnya matang, kami semua berkumpul, duduk melingkar, dan menyantapnya bersama-sama.