Mohon tunggu...
Arman Bemby Sinaga
Arman Bemby Sinaga Mohon Tunggu... Dosen - Bangkit dan Bercahaya

Belajar Menulis...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ajarkan Mereka Konsekuensi Logis

3 Oktober 2011   06:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:23 1848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ajarkan Mereka Konsekuensi Logis

[caption id="attachment_139148" align="alignnone" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Sumber: Shutterstock.com)"][/caption]

Pada diskusi di salah satu situs jejaring sosial yang melibatkan beberapa guru, tercuatlah sebuah topik yang mengacu kepada perlu tidaknya masih memberikan hukuman pada siswa. Bukan menjadi rahasia lagi, persoalan disiplin peserta didik yang lemah juga rasa cinta dan hormat kepada guru sudah semakin memudar. Para guru sering terpancing untuk melakukan tindakan yang dianggap sebuah kekerasan oleh siswa, orang tua maupun masyarakat. Para guru saat ini juga terjebak pada dua pilihan untuk memberi hukuman supaya wibawa seorang guru dan disiplin tercipta atau guru akan kena teguran atasan dan orang tua atau bahkan berurusan dengan komas perlindungan anak dan institusi penegak hukum lainnya.

Baru-baru ini seorang guru pada salah satu SMP swasta di Medan harus mengalami tuntutan masuk bui. Terlepas dari persoalan siap yang salah, tindakan yang dilakukan si guru akhirnya harus di interpretasikan sebagai sebuah kekerasan. Yang menjadi persoalan, apakah persoalan seperti ini harus masuk ranah hukum? Bukankah masih ada solusi mendidik yang bisa dilakukan? Atau, haruskah si guru membiarkan si peserta didik seenaknya melakukan apa saja yang mau di lakukannya?

Berangkat dari kompleksitas persoalan ini, pertanyaan pertama adalah apakah yang kita maksudkan dengan hukuman itu sudah memiliki definisi yang sama? Kemudian, pada saat kapan saja tindakan guru itu sudah masuk pada kriteria menghukum? Dan kapan saja peristiwa penghukuman itu sering terjadi?

Sekolah adalah tempat peserta didik mengikuti proses belajar mengajar dimana mereka belajar mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depan yang mau tidak mau akan mereka warisi dari para orang tua, orang yang lebih tua dari mereka, termasuk guru. Jadi sekolah berbeda dengan pengadilan yang menghakimi para terdakwa. Sekolah bukan pula penjara yang mendidik para narapidana. Para siswa masuk sekolah bukan karena mereka melakukan kesalahan pada sekolah sebelumnya.

Menghukum peserta didik dalam konteks “judge and punish” (hakimi dan hukum) sanagtlah tidak manusiawi dan tidak mendidik. Dampaknya tentunya bukan hanya kepada mental siswa yang akan terpola dan takut pada hukuman, tetapi mereka juga akan mewariskannya itu pada generasi selanjutnya. Sehingga budaya hukum menghukum akan menjadi sebuah budaya yang akhirnya bisa diterima sebagai sebuah kebenaran atau bahkan kebudayaan.

Segala tindakan guru kepada peserta didik yang bersifat kekerasan, diluar batas logis, dan tidak merubah respon anak selanjutnya merupakan sebuah hukuman. Apabila seorang siswa terlambat kemudian si peserta didik di perintahkan untuk “push up”, “scot jump”, lari keliling lapangan, meghormat bendera atau ditahan digerbang merupakan contoh-contoh hukuman yang sering dialami siswa dipagi hari setelah menginjakkan kaki di gerbang sekolah. Pertanyaan adalah, apakah ada hubungan logis antara si peserta didik terlambat dengan “push up”, “scot jump”, lari keliling lapangan, meghormat bendera atau ditahan digerbang? Tentu sangat sulit untuk menjelaskannya.

Ketika siswa sudah sudah masuk kelas, si guru memeriksa peserta didik yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah, peserta didik yang tidak mengerjakan tugas yang dipukul guru, dijewer, dicaci-maki, disuruh berdiri didepan kelas, disuruh keluar kelas atau dipermalukan didalam kelas juga sudah termasuk hukuman. Pesoalannya tetap, apakah tindakan guru itu logis, dan mendidik? Apakah tindakan ini nihil kekerasan?

Kemudian, apabila siswa tidak berpakaian seragam lengkap, siswa tidak mendengarkan guru ketika menjelaskan atau ada kejadian-kejadian lain diluar harapan guru, tetapi si peserta didik mendapat perlakuan yang bersifat kekerasan, tidak logis dan tidak mendidik berarti hukuman sedang berlangsung. Terus, guru harus bagaimana ya? Apakah guru membiarkan saja anak-anak yang terlambat, tidak mau mengikuti peraturan dan persoalan sekolah dan tidak mau belajar? Jawabannya tentu, tidak.

Hukuman harus dirubah dengan konsekuensi logis. Konsekuensi logis adalah segala tindakan sekolah, guru dan siswa yang diambil sebagai akibat dari tindakan atau sikap peserta didik yang tidak sesuai aturan dan prosedur. Konsekuensi logis itu baru benar apabila segala tindakan yang diambil jauh dari kekerasan, transparan, berada dalam koridor logika, ada hubungan sebab akibat, etis dan diketahui orang tua. Konsekuensi logis harus mendidik, konsisten, tegas, teratur dan adil.

Sebelum menerapkan konsekuensi logis, sekolah, siswa, guru dan orang tua sudah meyepakati satu peraturan yang sesuai dengan konsep pendidikan, undang-undang sitem pendidikan, undang-undang yang berlaku secara formal maupun nonformal. Sebagai contoh, siswa guru, sekolah dan guru sudah mengetahui dan menyepakati apa konsekuensi anaknya jika terlambat. Kemudian, segala peraturan yang menyangkut poses belajar mengajar dan disiplin sekolah haruslah terbuka dan dipahami semua pihak.

Untuk menerapkan konsekuensi logis ini memang harus teratur, konsisten, dan adil. Sebagai contoh, apabila sudah ada aturan sekolah yang mengatur bagi siswa yang terlambat tidak boleh lagi masuk sekolah, berarti, apabila sudah bel sekolah, gerbang sudah tutup, satuan pengaman sekolah sudah tidak mengijinkan siswa masuk dan orang tua pun harus membawa anaknya pulang. Kemudian, jika ada peratuan sekolah yang mengatur bahwa apabila si anak tidak memenuhi kehadiran 70 % maka tidak berhak ujian, seharusnya, si anak tidak boleh ujian, dan konsekuensi logisnya berarti tinggal kelas.

Kemudian, apabila ada aturan yang memuat bahwa jika si anak tidak mengerjakan pekerjaan rumah maka nilai hariannya kosong, tentu, konsekuensi logisnya dia tidak akan mempoleh nilai harian. Tentu kalau akhirnya orang tua protes nilai anaknya rendah, tentu guru sudah punya alasan yang logis untuk disampaikan. Kemudian jika ada aturan apabila siswa tidak mau mendengarkan guru dan menggangu proses belajar mengajar akan diberikan surat peringatan maka apabila masih saja hal ini terjadian, si guru tinggal memberikan surat peringatan sebagai konsekuensinya. Kemudian, harus ada aturan yang jelas tentang tindak lanjut dari surat periungatan ini. Misalnya, kalau surat peringatan sampai tiga kali, si peserta didik akan kehilangan haknya untuk bersekolah di sekolah tersebut. Akhirnya, jika si peserta didik masih melanggar aturan ini, sekolah tinggal mengeluarkan si peserta didik dari sekolah. Dengan demikian, persoalan dan solusi menjadi mudah di pahami dan dimengerti semua pihak.

Permasalahan yang sering terjadi sebenarnya berawal dari peraturan sekolah yang tidak terperinci dan tidak transparan penerapan peraturannya, baik oleh siswa, guru, pihak sekolah dan orang tua. Pernyelesaian masalah sering hanya oleh inisiatif guru yang tidak dikontrol oleh sebuah aturan sekolah yang jelas dan yang sering terpengaruh oleh emosi guru yang berubah subyetif dan tidak mendidik. Hal ini diperparah dengan respon orang tua saat ini yang melakukan pengawasan terhadap anak mereka dengan cara yang sangat berlebihan. Sebaiknya, pihak sekolah, guru, siswa orang tua memahami dan menyepakati sebuah peraturan yang jelas, terperinci dan transparan sehingga konsekuensi logis dari setiap tindakan yang sesuai bisa diambil secara bersama-sama dengan konsisten dan adil. Akhirnya, semua pihak bisa menerima akibat dari setiap pelanggaran disiplin atau peraturan sekolah..

A.Sinaga. Penulis adalah seorang guru.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun