BAB 1
Pendahuluan
Tentunya rasisme dan diskriminasi sudah menjadi hal yang tidak asing bagi kita sebagai warga Negara Indonesia. Rasisme dan diskriminasi adalah dua hal yang berbeda. Menurut van Dijk (Darma, 2009:128), rasisme adalah ideologi rasis yang dipahami sebagai suatu sistem sosial yang kompleks berdasarkan kesukuan atau rasial yang mengakibatkan adanya dominasi dan ketidaksetaraan. Dengan kata lain, rasisme adalah suatu perilaku atau pemikiran dimana seseorang memojok dan bersikap superior atas orang lain atas dasar identitas primer orang tersebut. Identitas primer adalah ciri-ciri dari seseorang yang didapat dari lahir dan merupakan identitas mutlak yang tidak bisa dirubah, seperti ras, suku budaya, seks, dan warna kulit.Â
Di sisi lain, diskriminasi adalah suatu tindak dan perilaku yang menjatuhkan dan menjelek-jelekkan seseorang atau sekelompok orang atas dasar identitas sekunder. Identitas sekunder adalah ciri-ciri seseorang yang berdasarkan kesepakatan bersama, seperti derajat sosial, pekerjaan, dan yang baru-baru ini - orientasi seksual/gender -- juga dianggap sebagai identitas sekunder. Dengan demikian, sisi lain dari rasisme dan diskriminasi adalah sikap dan perlaku toleransi, dimana orang menerima dan menghormati orang lain dari latar belakang yang berbeda dengan dirinya.
Di Indonesia, masyarakatnya terdiri dari berbagai identitas sehingga sangat beranekaragam. Keanekaragaman ini dapat menjadi pendorong perkembangan dan peningkatkan toleransi antar masyarakat agar dapat membangun Negara Indonesia secara bersama menjadi negara yang lebih maju, atau justru menjadi pemecah bangsa Indonesia. Banyak konflik dan permasalahan di Negara Indonesia berdasar/berawal dari adanya paham rasisme ataupun diskriminasi yang diutarakan oleh seseorang agar dapat memaksa kehendaknya kepada orang lain. Contoh yang dari peristiwa diskriminasi terjadi pada Mei 1998, atau lebih dikenal dengan nama Kerusuhan Mei 1998 dimana penduduk asli Negara Indonesia menjalankan kerusuhan rasial terhadap masyarakat ras TiongHoa, akibatnya banyak bangunan dan perusahaan milik masyarakat keturunan TiongHoa di Indonesia runtuh.
Di masa sekarang, terutama di sekolah-sekolah dan universitas-universitas, di mana kalangan pelajar dari berbagai macam latar belakang bergabung dan menimba ilmu, sikap toleransi juga masih belum maksimal. Akibatnya, banyak siswa dan mahasiswa yang merasa tertekan dari perbuatan dan perkatan rekan-rekannya yang bersifat menindas. Berdasarkan hasil survei pada tahun 2020 yang dilakukan melalui program CONVEY Indonesia oleh PPIM UIN Jakarta, 69.83% mahasiswa memiliki sikap toleransi beragama yang tinggi dan 30,16% memiliki sikap toleransi beragama yang rendah. Juga didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa sekitar 88,78% mahasiswa memiliki perilaku toleransi beragama yang tinggi dan 11,22% memiliki perilaku toleransi beragama yang rendah. Dari survei tersebut juga mendapatkan data berupa urutan tingkat toleransi mahasiwa-mahasiswa dari perguruan tunggu kedinasan, negeri, swasta, dan agama. Survei menunjukkan bahwa -- dari paling tinggi ke paling rendah nilai dan tingkat toleransinya -- mahasiswa dari perguruan tinggi kedinasan berada di paling atas, lalu mahasiswa perguruan tinggi negeri, mahasiswa perguruan swasta, dan yang paling rendah adalah mahasiswa dari perguruan tinggi agama. Meskipun terdapat data yang menunjukkan hal demikian, alasan dari tingkatan seperti itu belum begitu diketahui dengan jelas. Saat ini, hanya pada topik perguruan tinggi negeri dan swasta yang akan dibahas.
Â
Bab 2
Pembahasan
Dari beberapa observasi, dapat disimpulkan pada dua faktor utama yang berkaitan dan paling berdampak terhadap tingkat toleransi di sebuah perguruan tinggi, yaitu pengalaman seseorang berinteraksi dengan kelompok atau individu dari latar belakang yang berbeda serta toleransi beragama dosen-dosen dari setiap perguruan tinggi.
Berdasarkan faktor tingkat toleransi beragama dosen-dosen dari setiap perguruan tinggi, didapatkan hasil dimana jika tingkat toleransi beragama dosen-dosen dari setiap perguruan tinggi ada pada level yang tinggi, tingkat toleransi beragama mahasiswa dari perguruan tinggi tersebut juga tinggi, jugapun sebaliknya. Apabila tingkat toleransi beragama dosen rendah, tingkat toleransi beragama mahasiwa juga relatif lebih rendah dibanding perguruan tinggi yang lain.