Korban bencana gempa bumi dan tsunami yang mengguncang Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah  pada Jumat, 28 September 2018 lalu, tak hanya merupakan warga setempat. Sekitar Sepuluh orang penjual tikar keliling asal Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, sempat bertahan hidup selama lima hari saat Palu dilanda bencana. Mereka menyaksikan langsung kejadian gempa bumi dan tsunami yang menelan korban ribuan jiwa
Mereka adalah warga Desa Kluwut, Kecamatan Bulakamba. Semuanya selamat dari becana itu dengan bertahan hidup makan dan minum seadanya.
Selama lebih lima hari mereka terkatung-katung di lokasi bencana. Tarjuki, yang merupakan bos tikar dan membawa Sembilan anak buahnya harus kehilangan barang jualan demi menyelamatkan diri.
"Guncangan itu sudah terasa dari siang, tapi tidak terlalu besar. Baru sekitar pukul 17.10 WITA, gempa besar terjadi dan tak lama dari itu terjadi tsunami. Saat terjadi gempa, saya bersama teman-teman langsung keluar dari kontrakan cari tempat yang aman," ucap Tarjuki sembari mengingat kejadian petang itu, Senin, 8 Oktober 2018.
Tarjuki mengisahkan, saat hendak menyelamatkan diri, dia kebingungan lantaran tak tahu rarus ke mana cari tempat yang aman. Matanya terbelalak menyaksikan orang-orang berlarian tak tentu arah. Dia pun menyaksikan sebagian bangunan rumah sakit Anutapura yang letaknya hanya 50 meter dari kontrakannya, amblas.
"Rumah sakit empat lantai itu amblas dan tinggal berdiri dua lantai. Saya menyaksikan itu begitu cepat terjadi. Suasana semakin mencekam dengan matinya semua akses. Listrik, jaringan komunikasi, akses masuk ke lokasi bencana, semuanya lumpuh total. Hanya suara-suara takbir yang saling bersahutan," ungkapnya.
Usai keluar dari tempat kontrakan, Tarjuki yang saat itu bersama enam teman lainnya mencari tempat aman di sekitar rumah sakit Anutapura. Mereka tak mengenakan baju lantaran tengah bersantai usai lelah berjualan keliling Kota Palu hingga siang hari. Usai guncangan pertama mereda, mereka memutuskan untuk berkumpul di kontrakan.
"Saat itu kami langsung komunikasi untuk kumpul di kontrakan agar kita semua tak terpisah-pisah. Jualannya sudah dulu yang penting kumpul, karena kami takut terjadi gempa susulan yang lebih besar sedangkan teman-teman masih terpisah," ungkapnya.
Menjelang malam, semua orang saling berusaha memberi kabar kepada sanak keluarganya. Meskipun gelap gulita, beruntung malam itu masih ada jaringan telekomunikasi untuk saling berkabar.Â
Tarjuki meminta ketiga teman lainnya tengah berjualan di tempat lain, yaitu di pulau Banggai dan Bungkul untuk tidak pulang ke Palu sampai keadaan membaik. Â Sebab usai gempa besar sore hari, gempa kecil terus terjadi beberapa kali hingga pagi hari.