Mohon tunggu...
Kuntoro Tayubi
Kuntoro Tayubi Mohon Tunggu...
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis adalah ruh, dan menebar kebaikan adalah jiwaku. Bagiku kehidupan ini berproses, karena tidak ada kesempurnaan kecuali Sang Pencipta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Adat Ngasa Warga Jalawastu di Pesarean Gedong

25 Januari 2018   15:02 Diperbarui: 26 Januari 2018   02:27 1165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Upacara adat "Ngasa" digelar warga Jalawastu setiap Selasa Kliwon pada Mangsa Kesanga, di tempat adat Pesarean Gedong. Upacara adat yang diwarisi secara turun temurun selama ratusan tahun tersebut masih terus dijalankan oleh para tokoh adat setempat. 

Uniknya dalam acara tersebut semua sesaji dan perjamuan tidak diperkenankan menggunakan bahan baku beras dan daging. Semuanya bahan sebagian besar terbuat dari jagung, seperti nasi jagung (jagung yang ditumbuk halus-red) dengan lauk pauk berupa umbi-umbian.

Selama upacara berlangsung warga Jalawastu maupun warga lainnya yang ikut ritual perayaan Ngasa tidak boleh makan nasi dan daging. Semua makanan yang boleh dimakan berasal dari tumbuh-tumbuhan dan nasi dari jagung.

Penyuguhannya juga tidak boleh menggunakan bahan kaca seperti piring maupun gelas. Sebab semuanya diharamkan di tanah Jalawastu tersebut. Alat makan yang boleh dipakai adalah piring bahan seng, dedaunan dan alat makan atau alat berbahan plastik.

dokpri
dokpri
Menurut Dastam, sebutan Ngasa berarti mangsa kasanga dalam hitungan kalender Jawa. Adat upacara Ngasa dilakukan sebagai bentuk sodakoh gunung kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia. 

Kegiatan di lokasi pelataran dukuh yang oleh masyarakat setempat disebut Pesarean Gedong ini juga merupakan permohonan doa keselamatan bagi warga Jalawastu hingga Bangsa Indonesia. Hal tersebut tersirat dalam doa yang dikumandangkan dalam bahasa sunda oleh sang juru kunci saat acara berlangsung.

Ngasa dilihat dari sejarah cerita tanpa ditulis (peteng) dan cerita yang tertulis (padang) merupakan tradisi turun menurun nenek moyang yang diperkirakan terjadi sejak masa Bupati Brebeske-9 Raden Arya Candra Negara.

brebeskab.go.id
brebeskab.go.id
"Namun demikian untuk data pastinya, masih perlu penggalian yang cermat. Ngasa, berarti pula perwujudan syukur kepada Batara Windu Buana yang merupakan Pencipta Alam. Batara mempunyai utusan yang disebut Burian Panutus," ujarnya.

Burian selama hidup tidak pernah menanak nasi, dan hanya makan jagung serta umbian talas dan umbi lain. Selain pula tidak memakan yang bernyawa. "Semua itu merupakan penghambaan kepada Batara," kata Dastam.

 Dastam juga menjelaskan keunikan warga Jalawastu lainnya, bahwa rumahnya tidak boleh beratap genting serta bersemen atau berkeramik. Pamali (pantangan) kalau rumah pakai itu, juga tidak boleh menanam bawang merah, kedelai, serta memelihara kerbau, domba, dan angsa. Kalau melanggar maka akan ada bencana yang menimpa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun