Kabar kurang gembira sedang berhembus kembali. Lagi-lagi, Pemerintah Indonesia berencana menaikkan Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada tahun 2024 dengan rata-rata sebesar 10 persen. Rencana kenaikan CHT ini didorong oleh keinginan pemerintah untuk mendapatkan penerimaan cukai lebih besar. Target penerimaan cukai di tahun 2024 dipatok sebesar Rp246,1 triliun dan sudah bukan rahasia lagi kalau 95 persen penerimaan cukai disumbang oleh rokok.
Direktorat Bea Cukai Kementerian Keuangan melaporkan penerimaan CHT alias rokok sepanjang 2022 mencapai Rp218,62 triliun. Angka ini setara 104 persen dari target yang tertuang dalam Peraturan Presiden No.98 Tahun 2022 sebesar Rp209,91 triliun. Dilihat dari keseluruhan penerimaan pajak negara, CHT menyumbang nyaris 11% penerimaan pajak! Angka yang fantastis untuk pajak yang hanya bersumber dari satu industri saja.
Namun, di tahun 2023 ini, prospek penerimaan CHT dinilai muram. Pasalnya, CHT sebagai primadona penerimaan cukai merosot dan diperkirakan tidak mampu mencapai target yang ditetapkan sebesar Rp232,5 triliun. Bahkan, pemerintah memperkirakan hanya mampu mengantongi Rp218 triliun dari CHT di tahun ini.
Merosotnya penerimaan CHT ini dipicu oleh kenaikan cukai terus-menerus setiap tahunnya. Dihimpun dari berbagai data, sejak tahun 2012 hingga 2022, kenaikan CHT rata-rata di angka 10,8 persen. Bila diakumulasi selama 10 tahun terakhir, kenaikan CHT berjumlah sekitar 108,6 persen! Kenaikan cukai untuk tahun 2024 bahkan juga sudah diputuskan, yakni cukai rokok akan kembali naik sebesar 10 persen.
Alibi pemerintah terhadap kebijakan kenaikan CHT setiap tahunnya bertujuan untuk menekan serendah-rendahnya tingkat prevalensi perokok, khususnya anak di bawah umur 18 tahun. Selain itu, kenaikan CHT tersebut juga dikarenakan faktor ekonomi negara, yaitu untuk menambah penerimaan negara dari sisi cukai.
Kendati demikian, jika dicermati di tahun ini, harapan pemerintah seperti jauh panggang dari api. Alih-alih mendapat tambahan penerimaan CHT dari kenaikan cukai sebesar 10% di tahun 2023, penerimaan CHT justru merosot. Â Bahkan, data Bea Cukai Kementerian Keuangan mencatat penerimaan CHT hingga akhir Agustus 2023 yaitu sebesar Rp126,8 triliun atau turun 5,82 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2022.
Riset lembaga ekonomi INDEF menyebutkan bahwa mulai dari Januari hingga Agustus 2023 terjadi penurunan olahan tembakau (rokok) sebesar 197,5 miliar batang atau setara 2,1 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun 2022.
Dari situ terlihat bahwa kenaikan tarif cukai tidak serta merta menjamin kenaikan penerimaan atau menurunkan prevalensi. Semakin mahal harga rokok, masyarakat bukannya berhenti merokok, tapi justru pindah ke rokok murah. Saat ini, juga terjadi fenomena di mana perokok yang biasanya merokok dari produk-produk di Golongan I berpindah mengonsumsi rokok-rokok di Golongan II atau III. Selain itu, dengan semakin tidak terbelinya rokok asli atau rokok legal, kondisi ini malah dimanfaatkan untuk menyuburkan praktek rokok ilegal, baik yang tidak bercukai ataupun secara sengaja menggunakan pita cukai tidak sesuai peruntukannya untuk memangkas beban cukai. Alhasil penerimaan CHT terkena imbas dan terjun bebas.
Kondisi ini harusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk menginjak rem rencana kenaikan cukai di tahun 2024. Kebijakan kenaikan CHT apabila tidak ditimbang dampaknya secara menyeluruh, bukannya akan menghasilkan tambahan penerimaan, justru malah bikin pemerintah 'buntung'. Kebijakan CHT perlu melihat manfaat besar IHT terhadap penyerapan tenaga kerja dan perekonomian nasional. Untuk kebijakan selanjutnya, perlu ditelaah ulang apakah diperlukan kenaikan cukai tiap tahun apabila tidak sejalan dengan daya beli masyarakat. Yang ada malah makin menyuburkan rokok ilegal di pasar.
Dari situ dapat dipahami bahwa harapan bertambahnya penerimaan negara dari CHT ternyata tidak dapat terwujud karena produksi rokok semakin menurun. Amat jelas bahwa faktor penurunan itu disebabkan tingginya kebijakan kenaikan CHT yang ditetapkan pemerintah sehingga pabrikan rokok perlu menyiasati ongkos bisnis agar dapat tetap eksis dengan cara memperkecil jumlah produksi.