Di sebuah thread, saya menemukan kisah ringan tapi penuh makna tentang tiga orang yang sedang berbincang mengenai usia mereka.
"Umur berapa, Pak?" tanya seseorang.
"Saya kelahiran 1957, tapi di KTP tertulis 1961, karena urusan sekolah dulu," jawab pria pertama sambil tersenyum.
"Wah, sama saja. Saya lahir 1939, tapi di KTP ditulis 1941 supaya bisa kerja," timpal pria kedua.
Tak disangka, seorang perempuan muda yang duduk di sebelah mereka ikut menambahkan, "Kalau saya, lahir 1994. Tapi di KTP, ayah saya mendaftarkan tahun lahir 1992 supaya bisa cepat bekerja di luar negeri."
Membaca kisah ringan seperti tersebut di atas, penulis jadi teringat pada pertanyaan yang kerap diajukan para Pekerja Migran Indonesia (PMI) pada setiap kegiatan jemput bola pelayanan kekonsuleran dan keimigrasian yang diselenggarakan Konsulat RI Tawau. Mereka menanyakan tentang dampak perubahan nama dan tanggal lahir di paspor mereka.
Menurut keterangan salah seorang dari mereka, sebut saja namanya Ahmad Syahroni, ketika pertama kali datang ke Sabah pada tahun 2013, di paspornya tertulis nama Ahmad Syahroni kelahiran tahun 1980 di Makassar. Tetapi ketika dilakukan pembuatan paspor baru pada tahu 2023, nama di paspornya menjadi Rahmad Sahrani kelahiran tahun 1982 di Bone.
Ketika ditanya, mengapa sampai identitas di paspor diubah, jawabannya sederhana: atas permintaan majikan atau agen tenaga kerja di syarikat perkebunan. Mereka melakukan hal tersebut karena adanya ketentuan di Sabah bahwa setelah 10 tahun bekerja di Sabah, seorang pekerja asing diharuskan keluar terlebih dahulu dari Sabah Malaysia setidaknya selama 6 bulan. Setelah itu diperbolehkan kembali bekerja di Sabah dan menandatangani kontrak kerja baru.
Dengan ketentuan tersebut, majikan khawatir akan terjadi kekosongan tenaga kerja di perkebunannya apabila pekerjanya tersebut tidak kembali ke Sabah. Kalaupun kembali ke Sabah, mereka pindah pekerjaan di Syarikat lain. Padahal dengan pengalaman kerja 10 tahun, mereka punya ketrampilan yang dapat diandalkan oleh Syarikat untuk memetik buah sawit dengan maksimal. Andai, jumlah pekerja yang tidak kembali hanya 1-2 orang, mungkin tidak menjadi masalah. Namun apabila pekerja yang kontrak kerjanya habis setelah 10 tahun terdapat dalam jumlah besar, hal tersebut tentu saja akan mempengaruhi produksi di perkebunan sawit.
Untuk itu majikan atau agen tenaga kerja menguruskan pembuatan paspor baru dengan identitas baru agar pekerjanya tidak perlu meninggalkan Sabah hanya untuk memperpanjang kontrak kerja dan majikannya pun tidak perlu mencari tenaga kerja baru.