Apabila suatu saat anda berkunjung ke Tawau, kota kecil yang tenang di pantai timur Sabah, cobalah mampir ke kedai-kedai yang banyak bertebaran di hampir setiap sudut kota.
Mampirlah ketika mentari pagi baru merekah atau senja mulai berbisik Dengarkan, di balik riuh kendaraan, di sela orang bercakap, ada satu suara yang mencuri perhatian:
"Sanggar panas, sanggar baru angkat!"
Setiap kali suara itu bergema, orang-orang berhenti sejenak, dan menoleh sambil tersenyum. Mereka datang menghampiri gerobak kecil yang mengepulkan aroma manis bercampur gurih. Wajah mereka tampak akrab, seperti menyambut sahabat lama.
Begitulah sanggar panas dikenal akrab, keberadaannya seperti detak jantung kota. Ada kehangatan yang sulit dijelaskan, sesuatu yang membuat warga setempat seolah punya ritual tersendiri saat menjumpainya. Saat hujan turun, sanggar jadi pelipur. Saat pagi atau senja tiba, sanggar jadi teman ngopi.
Bagi warga Indonesia yang baru tiba di Tawau, penyebutan tersebut jelas membingungkan. "Sanggar? Maksudnya tempat belajar tari?" begitu komentar yang sering terdengar.
" ... apa sebenarnya sanggar panas itu?"
Jangan salah duga, sanggar bagi masyarakat Tawau bukanlah tempat belajar menari atau melukis. Bagi masyarakat Tawau, sanggar adalah sebutan khas untuk pisang goreng.
Sanggar adalah sebuah istilah yang lekat dengan identitas lokal, warisan dari bahasa Bugis yang sudah sejak lama hidup berdampingan dengan ragam budaya di perbatasan.
Disebut "panas" karena pisang goreng paling enak disantap saat baru diangkat dari kuali, renyah di luar, lembut manis di dalam, dan masih mengepulkan uap.