Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Penulis beberapa buku antara lain Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. Twitter: @arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kontroversi Dua Hari Nasional di Desember

26 Desember 2019   10:59 Diperbarui: 26 Desember 2019   11:08 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang diperjuangkan para perempuan hebat pada masa pra kemerdekaan tersebut sekarang ini terlihat hasilnya. Dapat dikatakan sekarang ini hampir tidak ada lagi jabatan-jabatan penting yang belum pernah diduduki kaum perempuan Indonesia. Mereka pernah menjadi Wakil Presiden bahkan Presiden RI, sedang menjabat sebagai Ketua DPR RI dan menteri di berbagai bidang, serta berbagai jabatan penting lainnya, kecuali Panglima TNI atau Kapolri.  

"Apakah Panglima TNI tidak boleh dari kaum perempuan? Why not. Panglima TNI boleh ya kaum perempuan. Presiden saja ya sudah (pernah). Artinya ke bawahnya boleh dong. Betul apa tidak?" tanya Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang juga Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri pada peringatan Hari Ibu 22 Desember 2019 di Jakarta.

Sebelumnya Megawati sudah menyampaikan soal kesetaraan dan hak yang sama di muka hukum bagi perempuan dan laki-laki yang sudah dijamin dalam Konstitusi.

Bukan hanya menyoal kesetaraan, Megawati juga mengajak perempuan Indonesia untuk berani terjun ke dunia politik. Ajakan tersebut tidak terlepas dari masih sedikitnya partisipasi perempuan di dunia politik. Kuota 30 persen bagi perempuan sampai sejauh ini belum bisa terpenuhi, paling baru sekitar 20 persen. Karena itu Megawati sampaikan bahwa politik bukanlah hal yang tabu bagi perempuan karena sesungguhna hal yang kecil pun, seperti urusan cabai, bisa menjadi masalah politik.

Kontroversi kedua terkait ucapan Selamat Natal oleh umat Muslim. Setiap tahun menjelang perayaan natal, pro dan kontra mengenai ucapan selamat natal terus bergulir. Sebagian pihak meyakini umat Muslim yang mengucapkan selamat natal kepada umat kristiani merupakan hal yang haram. Mereka yang menolak mengucapkan selamat Natal biasanya mendasari sikap tersebut dari persoalan menjaga kemurnian akidah. Namun, tak sedikit pula pihak yang menilai memberikan ucapan selamat natal sebagai bentuk toleransi umat beragama.  

Celakanya, alih-alih menampilkan narasi yang menyejukkan, kondisi tersebut di atas justru dimanfaatkan oleh sebagian media massa dan para buzzer untuk mengais rejeki dan memperkeruh suasana dengan menampilkan judul berita atau narasi yang menyesatkan dan sekedar menarik pengunjung. Seperti ritual tahunan, linimasa media sosial pun kemudian disesaki berbagai narasi simpang siur tentang pro kontra penyampaian Selamat Natal di kalangan umat Muslim.

Sebenarnya upaya meredam kontroversi pengucapan Selamat Natal sudah dilakukan sejak lama, terakhir disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, Rabu, 25 Desember 2019. Saat berkunjung ke kediamanan Menteri Koordinto Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam rangka Hari Natal. Pada kesempatan tersebut Mahfud MD mengatakan tidak boleh ada larangan ucapan Natal. Menurutnya, tidak boleh ada kontroversi pada perayaan Natal ini. "Tidak usah saling mengganggu. Tidak usah  mengatakan 'mengucapkan  Natal itu tidak boleh',"

Menurut Mahfud dikutip dari katadata, situasi Natal saat ini masih terjaga dengan baik. Isu diskriminasi hanya terjadi di media sosial yang berasal dari wilayah Sumatera Barat. Ia meminta, diskriminasi tidak perlu dilakukan kembali. Sebab, membiarkan umat beragama untuk menjalankan ibadahnya akan menimbulkan perpecahan dan mengganggu mereka melakukan kebaikan. "Jadi tidak usah saling mengganggu," ujar Mahfud.

Pada akhirnya, hidup di negara yang beragam suku, agama, dan ras di Indonesia memang mengharuskan masyarakat menjalankan toleransi, baik dalam hubungan sosial maupun beragama. Hal yang menjadi fokus setiap waktu adalah menjalankan dan merayakan hari keagamaan tertentu sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun