Betapapun perbedaan yang mewarisi identitas kita, sesungguhnya kita dihubungkan dalam jaringan penciptaan yang satu, dengan menjunjung tujuan hidup bersama.Â
Di usia kemerdekaan yang sudah mencapai angka 74, bangsa Indonesia masih dihadapkan pada kasak-kusuk persoalan kekerasaan atas nama radikalisme agama dan kepercayaan serta ras.Â
Di dunia maya, menggunakan akun palsu atau asli, masyarakat terpecah-belah ke dalam kelompok-kelompok, melakukan debat kusir, saling balas-membalas komentar, disertai dengan hujatan dan umpatan.
Di dunia maya, kekerasan berbasis SARA mendapatkan tempat yang pas sebagai tempat persemaian intolerasi. Sarkasisme tumbuh paling subur. Sedihnya, perilaku di dunia maya tersebut bermuara ke dunia nyata yang memunculkan kekerasan dan intoleransi.Â
Semua hal ini tentu saja menjadi kecemasan kita bersama. Negara mesti waspada akan ancaman teroris yang sesungguhnya.
Untungnya, di tengah kegalauan di atas, masih ada banyak harapan, salah satunya dari Pondok Pesantren Walisongo di kaki Gunung Meja, Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur.Â
Dari pondok pesantren yang sangat bersahaja ini terdapat benih-benih kerukunan yang terus dijaga, dan dipelihara menjadi pohon rindang yang menghembuskan angin kedamaian dan membawa kesejukan bagi Indonesia.
Hembusan angin kedamaian dan semangat menjunjung toleransi sangat nyata terlihat begitu memasuki area pondok Pesantren Walisongo. Sekelompok santri berbaju koko didampingi dua orang Frater (calon imam/pastor) bergamis putih menyambut kedatangan kami di halaman masjid As-Syukur.Â
Masjid tersebut merupakan salah satu bangunan, selain asrama santri dan sekolah, yang berada di komplek pesantren yang dipimpin oleh Siti Halimatus Sadiyah, putri dari pendiri pesantren, Alm K.H Mahmud EK.
Dari perbincangan beberapa waktu kemudian, diketahui bahwa keberadaan 2 orang frater tersebut bukan sekedar bagian dari tim penyambutan.Â