Mohon tunggu...
Arif Taufik Hidayat
Arif Taufik Hidayat Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Komunikasi 24107030051

Mahasiswa Ilmu Komunikasi yang memiliki minat di bidang Kreatif dan Sosial Media

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Bukit Turgo: Titik Temu Sejarah, Spiritualitas, dan Perjuangan Dakwah

30 Mei 2025   22:39 Diperbarui: 30 Mei 2025   22:39 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gapura  Petilasan (Dokumentasi Pribadi)

Di balik lebatnya hutan dan terjalnya jalur pendakian Bukit Turgo, Sleman, Yogyakarta, terdapat sebuah tempat sakral yang menjadi tujuan ziarah dari banyak orang: petilasan Syeikh Jumadil Qubro. Terletak sekitar 1.000 meter diatas permukaan laut, tidak jauh dari kawasan Desa Turgo, makam ini juga dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama Makam Kyai Turgo. Nama ini diyakini sebagai penyebutan lokal untuk sosok yang dalam sejarah Islam Nusantara dikenal sebagai Syeikh Jumadil Qubro, seorang ulama besar yang memiliki kedudukan istimewa dalam perkembangan Islam di tanah Jawa. Di tempat inilah, jejak spiritual, sejarah, dan kepercayaan masyarakat bertemu, menjadikan petilasan ini bukan sekadar tempat peristirahatan terakhir, tetapi juga simbol perjalanan panjang dakwah Islam di Nusantara.

Syeikh Jumadil Qubro, atau yang memiliki nama lengkap Sayyid Jamaluddin Al-Husaini Al-Kabir, adalah seorang tokoh penting dalam sejarah penyebaran Islam. Ia lahir sekitar tahun 1270 di Samarkand, Uzbekistan---sebuah wilayah yang pada masa itu dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Beliau berasal dari keturunan bangsawan dan memiliki garis nasab yang tersambung hingga Rasulullah SAW, menjadikannya sebagai seorang sayyid yang sangat dihormati. Dalam catatan sejarah, beliau diutus oleh Sultan Turki Muhammad I untuk menyebarkan agama Islam ke wilayah timur, termasuk kepulauan Nusantara yang kala itu masih berada di bawah pengaruh Kerajaan Majapahit.

Perjalanan dakwah beliau dimulai dari Samudera Pasai di pesisir utara Sumatra, yang merupakan salah satu kerajaan Islam pertama di Indonesia. Dari sana, beliau melanjutkan perjalanan ke berbagai daerah di Pulau Jawa, seperti Semarang, Demak, Bojonegoro, hingga ke wilayah timur seperti Wajo di Sulawesi Selatan. Di setiap tempat yang disinggahi, beliau mengedepankan pendekatan yang penuh kearifan lokal---menggunakan metode dakwah yang lembut, bertahap, dan adaptif terhadap kondisi sosial-budaya masyarakat setempat. Metode inilah yang menjadikan ajaran Islam mudah diterima oleh masyarakat Nusantara pada masa itu.

Lebih dari sekadar pendakwah, Syeikh Jumadil Qubro juga dikenal sebagai tokoh sentral dalam silsilah Wali Songo---sembilan ulama besar yang berjasa dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa. Ia adalah ayah dari dua tokoh penting, yakni Sunan Ampel dan Sunan Giri. Oleh sebab itu, ia sering dijuluki "Bapak Wali Songo", karena dari keturunannyalah lahir para wali yang kemudian menjadi panutan umat dan tokoh transformasi sosial keagamaan di Nusantara.

Petilasan beliau yang terletak di Bukit Turgo merupakan salah satu dari beberapa tempat yang dipercaya sebagai lokasi peristirahatan terakhir sang ulama. Untuk mencapainya, peziarah harus menapaki lebih dari 1.700 anak tangga---perjalanan fisik yang berat namun sarat makna spiritual. Menurut penuturan Mokhamad Mahfud, dosen dan pemandu rombongan kami, tangga ini baru dibangun secara permanen pada tahun 2022. Sebelumnya, jalur menuju ke sana sangat ekstrem dan hanya bisa dilalui oleh mereka yang memiliki tekad dan kekuatan fisik luar biasa.

Makamnya sendiri cukup sederhana, namun terawat dan sarat makna. Nisan berwarna hitam terbuat dari keramik, dihiasi kotak kayu di atasnya yang dilapisi kain putih. Pada dinding makam tertulis jelas: "Makam Syeh Maulana Muhammad Jumadil Kubro." Area makam memanjang sekitar delapan meter, dan suasana di sekitarnya sangat tenang. Tidak ada suara bising kendaraan atau hiruk-pikuk wisata. Hanya suara angin, dedaunan, dan bisikan doa dari para peziarah yang menyatu dengan alam.

Rimbunnya Pepohonan di Bukit Turgo (Dokumentasi Pribadi)
Rimbunnya Pepohonan di Bukit Turgo (Dokumentasi Pribadi)

Saya mengunjungi tempat ini bersama satu kelas, berjumlah 38 orang. Ini bukan perjalanan biasa. Selain spiritual, juga menjadi ujian fisik. Awalnya saya hampir menyerah karena tidak terbiasa olahraga. Setiap langkah menanjak terasa berat. Namun motivasi dari Pak Mahfud membuat saya terus melangkah, dan akhirnya berhasil sampai ke puncak. Di sana saya merasakan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata---semacam rasa haru, damai, dan syukur yang muncul begitu saja saat berdiri di hadapan makam seorang ulama besar yang jasanya masih terasa hingga hari ini.

Rombongan Peziarah (Dokumentasi Pribadi)
Rombongan Peziarah (Dokumentasi Pribadi)

Selama di sana, saya juga sempat berbincang dengan beberapa peziarah lain. Salah satunya adalah Pak Zainudin dari Cirebon, Jawa Barat, yang datang bersama rombongan sekitar 30 orang menggunakan mobil elf. Mereka menempuh perjalanan selama 12 jam untuk bisa sampai di sini. Ada juga Pak Hasan, seorang peziarah asal Kotagede yang memilih mengayuh sepeda hingga ke puncak. "Sekalian olahraga mas, biar ziarah sama nyepeda sekali jalan. Nggak buang banyak waktu," katanya sambil tersenyum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun