“The program is begin before its start.”
— catatan dari jalan
Pagi-pagi kami tinggalkan Banda. Gerobak mini—Picanto yang sudah kenyang jalan jauh—berjalan pelan menyusuri pesisir timur Aceh. Tujuan awalnya sederhana: Langsa, ke maqam ibunda mertua. Sekalian liburan sekolah, pikir kami, bawa anak-anak menyusur jalan yang dulu hanya kami sebut-sebut sebagai rencana.
Tapi seperti biasa, perjalanan keluarga kami sering kali jadi lebih dari itu.
Pasai: Laut yang Pernah Bersyair
Kami melewati kawasan yang dulu jadi jantung negeri bernama Samudra Pasai. Kini tentu tak banyak bekas kerajaannya, tapi ada semacam getaran yang masih tersisa—entah dari mana datangnya.
Di antara suara laut dan warung-warung yang menjajakan kopi, ada gumam tak terdengar:
"Di sini dulu orang belajar menulis sejarah."
Kami diam, mendengar. Tak pakai catatan. Cukup mata dan hati.
Langsa: Pertemuan yang Sempat dan Nyata
Di Langsa kami ziarah, juga menata napas. Kota ini jadi semacam tempat transit, tapi juga tempat bicara. Bertemu sahabat-sahabat yang kami percayai, meski tak banyak kata. Hanya perlu kode-kode kecil, arah mata, dan tanya ringan seperti:
“Jadi kita mulai dari mana?”
Dan semua langsung paham, bahkan sebelum jawaban selesai.
Lanjut: Melayu Tamiang, Binjai, dan Medan
Perjalanan terus berlanjut. Sesekali kami menepi, cari jajan, atau sekadar cari suara. Bukan suara musik, tapi suara kehidupan—logat Melayu yang lembut tapi tegas, nada-nada yang berbeda di tiap kota.