Mohon tunggu...
Ari Murti Ahmadi
Ari Murti Ahmadi Mohon Tunggu... Lainnya - Gondes Agraris

Pemuda desa yang kebetulan berteman dengan petani.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tengkulak dalam Nadi Pasar Pertanian Indonesia

7 Maret 2019   22:04 Diperbarui: 28 Juli 2020   19:28 3967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mata rantai distribusi yang amat panjang selalu menjadi salah satu hal yang diutarakan dalam diskusi mengenai mahalnya harga-harga komoditas pertanian. Pun ketika harga komoditas pertanian sedang anjlok, alur distribusi masih menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan dalam tema pertanian di Indonesia secara luas. Salah satu yang dijadikan kambing hitam dalam runyamnya alur distribusi produk pertanian adalah para tengkulak. Tengkulak atau makelar yang menyediakan barang tidak bisa dipisahkan ketika membicarakan rantai distribusi produk pertanian. Keduanya sudah menjadi suatu sistem yang utuh, membudaya, mengakar kuat dan tentunya sulit untuk dihilangkan atau diganti perannya. Lantas, salahkah mereka menjadi bagian sistem jual-beli komoditas pertanian kita?

Pada umumnya, produk-produk pertanian yang dihasilkan oleh petani tidak langsung diterima oleh konsumen. Banyak hal yang menyebabkan hal tersebut dapat terjadi. Relasi pasar dan kuantitas yang terbatas adalah salah dua hal yang menyebabkan produk-produk pertanian harus melalui pos-pos transit sebelum diterima oleh konsumen. Nahasnya, selama transit di pos-pos tersebut, harga produk akan mengalami kenaikan karena klaim jasa oleh para pengepul atau tengkulak. Terbatasnya relasi yang dimiliki oleh petani untuk menjual hasil panennya adalah sebuah fakta yang terjadi di sistem akar rumput pertanian kita. Pun ketika sudah memiliki relasi pasar yang bagus, kuantitas panen yang terbatas karena luasan kepemilikan lahan yang digarap juga terbatas, akan menimbulkan masalah baru karena kebanyakan para pedagang-pedagang besar selalu mengutamakan jumlah yang besar demi menakan biaya transportasi. Pos-pos yang "terpaksa" dibuat oleh tengkulak menjadi alasan yang lebih rasional demi menguntungkan kedua belah pihak.

Kejadian-kejadian di atas hampir sering terjadi pada semua kegiatan jual-beli komoditas pertanian, tak terkecuali jual-beli gabah. Memasuki masa panen raya (Maret-April) adalah masa-masa paling hectic yang dialami petani. Stok gabah yang melimpah dan cuaca yang tidak menentu adalah dua alasan untuk memasrahkan harga gabah kepada para penebas. Di sinilah rantai distribusi pertama dimulai. Penebas adalah orang yang membeli gabah dalam bentuk pertanaman on farm. Tidak ada timbangan, ukuran dan patokan-patokan angka lainnya. Biasanya penebas adalah orang yang sudah berpengalaman dalam menakar kira-kira pertanaman padi yang dibeli akan menghasilkan berapa kwintal/ton per luasan lahan tertentu. Dalam satuan yang lebih sederhana dan sering dipakai adalah berapa karung per luasan lahan.

Untuk menjual gabah ke luar daerah, para penebas membutuhkan bantuan makelar yang mempunyai relasi pasar yang lebih luas. Rantai distribusi kedua dimulai dari berpindah tangannya komunikasi jual dan beli gabah. Makelar akan menghubungi gudang-gudang rice mill yang membutuhkan gabah untuk diproses menjadi beras. Apabila beruntung, proses ini akan berlanjut tanpa ada pos transit lagi. Dalam beberapa kasus, makelar-makelar tersebut juga membutuhkan bantuan dari makelar lain untuk menjual barang yang sudah terlanjur dipanen. Jadi, sudah ada tiga alur distribusi yang dilalui gabah sebelum masuk gudang pemrosesan beras. Apabila setiap alur yang dilalui terdapat uang jasa yang diklaim, maka terdapat tiga kali kenaikan harga gabah dalam waktu tidak lebih dari 12 jam!

Keadaan di lapangan lah yang membentuk sistem distribusi produk pertanian menjadi sedemikian runyam. Dalam sekali transaksi jual beli gabah, dibutuhkan 8-10 ton untuk sekali angkut demi menekan ongkos transport oleh pengusaha beras. Rata-rata kepemilikan lahan sawah oleh petani kita antara 0,3-0,5 ha dengan produktivitas 4,5-6 ton per ha. Dengan asumsi perhitungan seperti itu, maka dibutuhkan setidaknya 3 petani untuk satu kali transaksi jual beli dengan pengusaha beras. Celah tersebut yang dimanfaatkan oleh penebas untuk mengumpulkan barang. Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa keterbatasan petani lah yang membentuk sistem tersebut, dan sayangnya lebih banyak kerugian yang diakibatkan oleh terbentuknya sistem distribusi tersebut, entah dari petani sebagai produsen dan masyarakat sebagai konsumen.

Disadari atau tidak, diterima atau tidak, tengkulak adalah salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan pemasaran produk pertanian kita. Dengan berbagai keterbatasan dan kekurangan yang dimiliki oleh petani kita, jasa tengkulak sangat dibutuhkan oleh petani. Terdengar sangat pahit, namun begitulah keadaan sementara ini. Sementara adalah frasa yang tepat untuk tetap meyakini bahwa terdapat jalan yang bisa ditempuh guna menyelesaikan masalah tersebut. Menyederhanakan mata rantai distribusi komoditas pertanian adalah keniscayaan demi sejahteranya petani dan terciptanya pasar pertanian yang lebih sehat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun