" Berikan sepuluh pemuda untukku, akan kuguncangkan dunia ini " demikian bung karno ( sang proklamator Republic Indonesia ) pernah mengungkapkan dalam pidatonya. Apa makna dari sempalan pidato itu ? pemuda menjadi modal social utama dalam pembentukan dan pertumbuhan serta perkembangan sebuah bangsa.
Di era modernisasi dan globalisasi sekarang ini sudah ribuan bahkan juataan pemuda (mahasiswa) yang bergerak medesakan sebuah perubahan yang progresif belum juga membuahkan hasil. Ini disebabkan karena etos perjuangan yang dimiliki pemuda (mahasiswa) hari ini masih terhegemoni oleh kelompok penguasa. Disamping dominasi hegemoni penguasa itu pemuda (mahasiswa) juga terjebak pada dimensi pragmatisme sehingga setiap gerakan perubahan yang masif, sistematis, dan terstruktur selalu mengalami kemandegan.
Bercermin pada khirah pergekan masa lalu bangsa ini, yang dalam perjalannya pemuda Indonesia selalu mengambil peran dalam setiap momen -- momen besar perjuangan bangsa Indonesia. Peristiwa 1945,1966,1974 dan peristiwa 1998 adalah keberhasilan akbar perjuangan pemuda Indonesia, sebagai warisan nilai-nilai perjuangan 1908 dan 1928.
Membaca historis perjuangan pemuda Indonesia, berbanding jauh di era sekarang ini. Kesulitan membuka mata dan membangunkan pemuda dalam tidur dogmatisnya menjadikan problem yang cukup serius. Pemuda (mahasiswa) yang notabenenya sebagai agen of change dan agen of control hanyalah sebagai symbol.
Mahasiswa yang di klaim sebagai Kaum intelektual memiliki tanggung jawab pokok yang cukup berat. Tanggung jawab untuk membangkitkan, membangun, dan membimbing masyarakat secara benar agar masyarakat mampu menciptakan tatanan masyarakat yang baik.
Dari konteks ini kaum intelektual menjadi kunci utama dalam pembentukan kepribadian masyarakat. Tapi pertanyaannya siapakah yang melahirkan kaum intelektual ini ? perguruan tinggi merupakan wadah munculnya kaum intelektual.
Dalam perguruan tinggi di butuhkan pendidik yang benar-banar mampu menggerakkan peserta didiknya untuk melakukan tindakan yang positif atau social action. Karakter pendidik cukup menghegemoni hasil dari pada peserta didik.
Di lingkup perguruan tinggi tidak sedikit kita menemukan pendidik yang mencoba melacuri calon kaum intelektual. Tidak sedikit pula pendidik yang mengkapitalisasi system pendidikan.
Pelacuran intelektual yang penulis maksud yaitu pendidik yang menjual skripsi, plagiasi tulisan dan lain-lain. Perbuatan ini telah melanggar kode etik tenaga kependidikan. Sehingga pendidikan selalu gagal melahirkan manusia yang berkualitas dan berintegritas. Dalam etika kesarjanaan kita dituntut untuk menunjukan kejujuran intelektual. Jika wadah pendidikan ditafsir seperti diatas maka pendidikan sudah berada pada ambang batas kehancuran.
System pendidikan yang hanya sekedar transfer ilmu dan diskursus tidak akan sampai pada pembentukan masyarakat yang di baik. Ali syariati pernah berkata "system pendidikan selalu gagal melahirkan manusia yang berkualitas karena pendidikan tidak di fokuskan kepada manusia itu sendiri.