Genderang pesta demokrasi di Ranah Minang telah ditabuh. Empat pasang kandidat bersiap mempromosikan diri untuk meraih simpati rakyat. Tema "Pilkada Badunsanak" sengaja dipilih agar pemilihan kepala daerah ini bisa sekaligus menjadi ajang unjuk sportivitas.Â
Sayangnya, niat baik itu rupanya hendak dinodai. Kandidat yang berpeluang besar untuk menang malah dikriminalisasi. Kesalahan mereka dicari-cari. Bahkan, partai pendukungnya tak luput dari bidikan para penghamba kekuasaan.
Sejak awal mengumumkan untuk maju dalam Pilkada Sumbar 2020, pasangan calon Nasrul Abit-Indra Catri (NA-IC) tidak pernah lepas dirundung serangan.Â
Memang, sebagai kandidat petahana kans keduanya untuk menang terbuka lebar. Apalagi mereka didukung oleh Partai Gerindra, parpol peraih suara terbanyak di Sumbar pada Pileg 2019.Bahkan menurut sejumlah hasil survei elektabilitas, jika pemilu diadakan hari ini, Gerindra masih tetap berjaya.Â
Parpol besutan Prabowo Subianto ini akan unggul telak dengan perolehan suara lebih dari dua kali lipat dari hasil yang bisa dikumpulkan parpol yang berada pada urutan kedua.Â
Pantas saja kalau kandidat pesaing menjadikan NA-IC dan Gerindra sebagai lawan utama. Akan tetapi, menjadi tidak pantas ketika ada pihak-pihak yang ingin bermain kotor dan curang.
Beberapa hari yang lalu, jelang penetapan pasangan calon Pilkada Sumbar, sejumlah massa mendatangi kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).Â
Mereka memfitnah NA bahwa ijazah SLTA yang digunakan NA tidak sah. KPU menanggapi dengan dingin karena sudah tiga kali pilkada berhembus fitnah serupa. Sudah tiga kali pula pihak penyelenggara melakukan verifikasi faktual. Hasilnya memang tidak ada yang dipalsukan.
Di sini bisa dilihat adaya upaya penggembosan elektabilitas NA-IC. Siapa yang menggerakkan segelintir massa itu jika bukan oknum-oknum yang memiliki kepentingan. Mereka jelas orang bayaran. Target mereka adalah menjatuhkan NA dengan segala cara. Skenario serupa juga mereka jalankan untuk menjegal IC dan kemudian berupaya mengkriminalisasi anggota keluarga NA.
Upaya-upaya kotor itu tidak kunjung membuahkan hasil. NA-IC yang terus dizalimi ternyata justru semakin mendapat simpati. Elektabilitasnya terus meningkat, sementara tiga kandidat lain cenderung stagnan, bahkan ada yang terus tergerus.
Setelah gagal menggembosi elektabilitas NA-IC, mereka mulai memainkan strategi lain. Bidikan mulai diarahkan kepada Gerindra. Tim pemenangan, pimpinan wilayah hingga ke kabupaten/kota masuk radar untuk target pembusukan.