Mohon tunggu...
ari imogiri
ari imogiri Mohon Tunggu... Administrasi - warga desa

suka aja mengamati berita-berita politik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Konsolidasi Kekuasaan dan Memindah Ibu kota

24 Januari 2022   08:14 Diperbarui: 24 Januari 2022   09:29 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sudah menjadi pengetahuan luas bahwa sejarah kerajaan-kerajaan di masa lalu penuh dengan intrik dan konflik yang berujung pada pertumpahan darah di internal keluarga istana. Hal tersebut tak terkecuali juga terjadi di kerajaan Tumapel yang berada di Jawa Timur. Kerajaan yang didirikan oleh Sri Rajasa Sang Girinataputra atau lebih dikenal dengan nama Ken Arok ini sejak awal berdirinya penuh dengan aroma pertumpahan darah. Dimulai dengan penggulingan penguasa Tumapel Tunggul Ametung hingga terbunuhnya Tohjaya anak Ken Arok dari istri selirnya, Ken Umang.

Sepeninggal terbunuhnya Tohjaya, yang menjadi raja di Tumapel adalah keponakannya, Ranggawuni atau Wisnu Wardhana. Dan di tangan Wisnu Wardhana inilah Tumapel berada dalam masa yang penuh damai, tak terjadi konflik besar yang berujung kudeta dan pertumpahan darah sebagaimana yang terjadi pada masa raja-raja pendahulunya.

Untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya maka Wisnu Wardhana secara adil membagi kekuasaan kepada para kerabatnya. Sepupu yang sekaligus iparnya, Mahesa Campaka atau Narasinghamurti diangkat menjadi ratu anggabaya, jabatan tertinggi urusan keamanan, kira-kira semacam menko polkam lah kalau di jaman sekarang.

Tak ketinggalan anak, menantu dan para keponakannya juga diangkat dan diberi posisi sebagai kepala-kepala daerah di wilayah kerajaan Tumapel.  Putra Mahkota, Nararya Murdhaja diberi kedudukan sebagai kepala daerah di Daha, lalu menantu sekaligus keponakannya, Jayakatwang dijadikan kepala daerah di Gelang-gelang. Anaknya yang lain, Nararya Kirana diangkat menjadi penguasa daerah Lamajang. Keponakannya, Dyah Lembu Tal diangkat sebagai penguasa di Jenggala, lalu sepupunya, Nararya Kulup Kuda dijadikan penguasa di Madura.

Dengan penempatan kerabat dekatnya sebagai para penguasa daerah maka konsolidasi kekuasaan di kerajaan Tumapel menjadi mudah dilaksanakan. Kemudian setelah kekuasaan telah tergenggam dengan penuh dan situasi kerajaan menjadi semakin aman dan damai maka ibukota kerajaan Tumapel dipindah dari Kutaraja dan dibangunlah ibukota baru yang dinamai Singhasari, berlokasi tidak jauh dari ibukota lama sebagaimana yang sering dilakukan oleh raja-raja di Jawa Kuno seperti masa kerajaan Medang (lebih sering disebut sebagai kerajaan Mataram Kuno).

Kerajaan Medang dikenal dengan  dua periode berdasarkan lokasi atau ibu kota kerajaannya. Pertama adalah periode Jawa Tengah di bawah Wangsa Sanjaya dan Sailendra, serta yang kedua adalah periode Jawa Timur yang dikuasai oleh Wangsa Isyana (meskipun mPu Sindok sebagai pendiri Wangsa Isyana sebenarnya juga bagian dari Wangsa Sanjaya).

Pada 929 M, ibukota Kerajaan Medang dipindahkan ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok. Menurut George Coedes dalam The Indianized states of Southeast Asia (1968), ada beberapa faktor kemungkinan yang mendorong perpindahan tersebut. Pertama adalah faktor politik, yakni sering terjadinya kudeta perebutan kekuasaan di antara para kerabat istana yang berimbas terhadap terancamnya kesatuan wilayah kerajaan ini. Kedua adalah faktor bencana alam, yaitu peristiwa meletusnya Gunung Merapi. Dan faktor ketiga adalah adanya potensi ancaman dari kerajaan lain, terutama potensi serangan dari Kerajaan Sriwijaya di Sumatra.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun