Mohon tunggu...
ari imogiri
ari imogiri Mohon Tunggu... Administrasi - warga desa

suka aja mengamati berita-berita politik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bhumi Mangir dalam Lintasan Sejarah Kerajaan Mataram

16 Desember 2021   11:31 Diperbarui: 16 Desember 2021   11:40 1070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kali ini kita akan coba menulis terkait satu wilayah yang cukup terkenal dalam kaitan dengan sejarah kerajaan Mataram Islam. Daerah itu adalah Mangir, satu daerah yang dalam cerita tutur merupakan daerah yang dipimpin oleh tokoh legendaris yaitu Ki Ageng Mangir. 

Namun sebelum membicarakan soal Mangir, terlebih dahulu kita akan membicarakan wilayah tempat tanah Mangir berada yaitu Bhumi Mataram. Dalam cerita tutur turun temurun dan Babad Tanah Jawi, disebutkan bahwa sebelum Ki Pemanahan dan Sutawijaya mendirikan kerajaan Mataram Islam maka wilayah Bhumi Mataram adalah berupa hutan belantara yang disebut sebagai Alas Mentaok (hutan yang banyak pohon mentaoknya).

Kisah ini karena turun temurun diceritakan, misal dalam berbagai kesenian kethoprak, maka sebagian besar masyarakat benar-benar meyakini bahwa Bhumi Mataram ini sebelum berdirinya kerajaan Mataram Islam adalah hutan belantara dengan nama Alas Mentaok sebagaimana di paragraf sebelumnya. Namun benarkah demikian?

Di masa kerajaan Majapahit, Bhumi Mataram merupakan salah satu mandala (untuk lebih familier kita sebut saja dengan istilah kadipaten) yang penguasanya adalah kerabat dekat dari raja-raja Majapahit.

Berikut para penguasa kadipaten Mataram di era Majapahit yang tercatat :
1. Wikramawardhana, keponakan sekaligus menantu Hayam Wuruk (kelak menjadi raja Majapahit sepeninggal Hayam Wuruk)
2. Rajasakusuma, anak Wikramawardhana
3. Dyah Aniswari, anak Aji Rajanatha (Bhre Wirabhumi) sekaligus keponakan Wikramawardhana
4. Kertawijaya, anak Wikramawardhana (kelak menjadi raja Majapahit menggantikan kakaknya Prabu Stri Suhita)
5. Dyah Wijayakarana, cucu Kertawijaya (kelak menjadi raja Majapahit pasca perang runtuhnya Trowulan tahun 1478)

Dari situ ternyata dapat kita sampaikan bahwa terkait dengan cerita bahwa sebelum berdirinya kerajaan Mataram Islam kondisi Bhumi Mataram masih berupa hutan belantara dapat diasumsikan sebagai sebuah metafora bahwa pasca runtuhnya Majapahit sampai era kerajaan Pajang (pendahulu Mataram Islam) maka situasi Bhumi Mataram belum bisa ditundukkan oleh Demak maupun Pajang, dengan banyak penguasa lokal di wilayah Bhumi Mataram yang menyatakan diri berdaulat dan tidak menginduk kepada kerajaan-kerajaan pasca Majapahit. Dikisahkan di wilayah Kutagede sendiri sebelum datangnya Ki Pemanahan dan Sutawijaya adalah sebuah wilayah yang dikuasai oleh Ki Jayaprana, yang di cerita tutur disebutkan bersedia pindah dari Kutagede setelah Ki Pemanahan sanggup menggendongnya sejauh dua langkah kaki. Hal ini pun tentu juga sebuah metafora, yang untuk mudahnya kita artikan bahwa Ki Pemanahan sanggup mengalahkan pasukan di bawah komando Ki Jayaprana penguasa Kutagede tersebut.

Selanjutnya diceritakan bahwa Ki Ageng Mangir adalah anak dari Raja Majapahit yang melarikan diri dari kotaraja dan sampai di tanah Mangir kemudian babat alas mendirikan kampung Mangir. Lalu kira-kira bagaimana ceritanya anak raja Majapahit melarikan diri dari kotaraja?

Seperti tertulis di atas, bahwa adipati terakhir Bhumi Mataram adalah Dyah Wijayakarana yang kemudian naik menjadi Raja Majapahit. Rangkaian kisah itu bermula dari mangkatnya raja Majapahit Dyah Wijayakumara Rajasawardhana Sang Sinagara pada tahun 1453.

Seharusnya yang naik tahta sepeninggal Sang Sinagara adalah anak sulungnya, adipati Kahuripan Dyah Samarawijaya. Namun karena terjadi penolakan dari kerabat dekat istana, akhirnya selama 3 tahun tahta Majapahit kosong tanpa raja. Baru tahun 1456, adik Sang Sinagara, alias paman dari putra mahkota sang adipati Kahuripan yaitu adipati Wengker Dyah Girisawardhana memproklamirkan diri sebagai raja Majapahit. Sepeninggalnya, tahun 1566 lagi-lagi sang putra mahkota gagal naik tahta karena sang paman, adipati Tumapel Dyah Suraprabhawa yang naik tahta. Hal itu akhirnya membuat sang putra mahkota dan adik-adiknya kecewa berat dengan kerabat istana, karena mereka merasa dianaktirikan. Akhirnya sang putra mahkota adipati Kahuripan dan 3 orang adiknya, yaitu adipati Pamotan Dyah Wijayakusuma, adipati Mataram Dyah Wijayakarana dan adipati Kertabhumi Dyah Ranawijaya mengkonsolidasikan kekuatan, menyusun pasukan untuk merebut tahta Majapahit. Dan akhirnya tahun 1478, terjadilah perang besar yang meluluhlantakkan ibukota Majapahit, Raja Majapahit Dyah Suraprabhawa dan keponakannya sang putra mahkota, adipati Kahuripan Dyah sama-sama gugur di palagan. Tahta Majapahit kemudian berturut turut diduduki adipati Pamotan, adipati Mataram dan terakhir adipati Kertabhumi, dengan ibukota tidak lagi di Trowulan namun pindah ke Keling dan terakhir ke Daha. Pasca perang 1478 itulah kemudian banyak wilayah Majapahit yang melepaskan diri dari Majapahit, misal Demak, Blambangan dan lain lain.

Sewaktu tahta Majapahit diduduki adipati Kertabhumi Dyah Ranawijaya inilah kemudian terjadi kudeta yang dilakukan oleh patihnya, yaitu patih Mahodara (dalam catatan Tom Pires dari Portugis yang datang ke Jawa sekira tahun 1513an dia menyebutnya dengan nama Pate Amdura). Nah, kembali ke Ki Ageng Mangir, mungkinkah pasca kudeta oleh Patih Mahodara ini anak-anak dan kerabat raja, termasuk anak Dyah Wijayakarana yang sebelumnya adalah adipati Mataram kemudian melarikan diri ke barat, ke wilayah yang dulunya adalah daerah kekuasaan leluhurnya tersebut? Untuk mudahnya, kita asumsikan seperti itu, karena dalam situasi perang dan tidak stabil maka daerah yang paling aman tentu adalah daerah milik keluarganya sendiri, dalam hal ini adalah Mataram. Nah di Mataram kemudian mereka mendirikan kerajaan kecil di tepi sungai Progo yang kemudian kita kenal dengan sebutan Mangir.

Dikisahkan dalam cerita tutur juga bahwa Ki Ageng Mangir I juga mempunyai anak dari putri dari Demang Jelagong yang berupa ular yang bernama Barukliting, yang kemudian akan diakui anak jika tubuhnya mampu mengitari gunung Merapi dari lereng sampai puncak. Dalam tafsir sastrawan Pramoedya A Toer, anak berupa ular dan mengitari gunung Merapi ini sebagai sebuah metafora yang diartikan sebagai anak di luar nikah, dan akan diakui sebagai anak jika mampu menaklukkan wilayah sampai di daerah Gunung Merapi agar tunduk pada kekuasaan Mangir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun