Seperti perumpamaan seseorang yang lahir dan kemudian mendiami rumah milik orangtuanya. Ia tak tahu bagaimana dahulu rumah itu dibangun. Saat dia ada, rumah itu sudah ada sebelum kelahirannya.
Beberapa tahun sesudah rumah itu dibangun, muncul sejumlah mahluk yang tumbuh besar di antara pintu dan dinding rumah. Ada kalajengking, tikus, semut, ular, dan binatang kecil lainnya.
Mereka yang lahir dan menjalani kehidupan di rumah itu beranggapan bahwa rumah itu sudah ada sejak ia lahir. Padahal jauh sebelum ia ada rumah itu telah ada.
Mungkinkah ia berpikir bahwa dahulu sebelum rumah itu ada, di tanah kosong itu hanyalah padang belukar. Entah dahulunya milik siapa, kemudian dibeli oleh orangtua kita. Kemudoan dibangunlah sebuah rumah di atasnya.
Jika tidak mendengar cerita yang diperdengarkan kepadanya, tentu saja ia tak tahu asal mula kejadian rumah tersebut berikut sejarah pembelian tanah dan pembangunan rumahnya.
Saat orangtua mereka meninggal, kemudian si anak mendiami rumah tersebut. Di rumah itu lahirlah anak-anaknya. Apakah anaknya akan mengerti bagaimana rumah itu asal muasalnya?
Tak akan lahir pengetahuan dan pengertian jika tidak ada pencerita, tukang sejarah yang menceritakan kembal detail asal muasal tanah dan rumah tersebut. Demikian seterusnya.
Yang jelas, bahwa mulanya rumah itu tidak ada. Kemudian sebagian binatang, yang hidup dan tumbuh di antara pintu dan dinding pun tidak mengetahui selainnya, selain rumah itu.
Kalau kita tarik ke nuansa yang lebih besar, pasti akan mengarah pada tempat yang kita diami saat ini. Dulunya tempat ini tidak ada. Lalu kita dilahirkan saat tempat ini sudah ada. Kita menyebutnya tempat tinggal.
Ada yang menamakan desa, kampung, kota, negara dan seterusnya. Di tempat inilah kita tumbuh, hidup dan berkembang, setelah sekian waktu, nanti kita akan kembali pada ketiadaan. Kita akan digantikan oleh yang sejenis dengan kita.
Lalu mereka juga akan menganggap dan beranggapan seperti kita. Mulanya tidak ada, kemudian ada, dan akhirnya kembali tidak ada.