Namanya saja si Palui, tak akan kehabisan akal jika ingin menarik perhatian. Selalu cermat dalam memberikan petuah pada tetangganya. Â
Waktu itu memang lagi gencar-gencarnya lockdown di daerah-daerah. Ada desa yang menutup total gerbang masuknya. Bila ada yang keluar harus lapor, menceritakan tujuan kepergiannya.
Tak boleh ada orang luar daerah yang datang ke desa itu. Akses masuk desa tentu saja dengan mudah mampu di kontrol. Desa yang dikelilingi oleh kebun karet memiliki dua jalan masuk.
Di depan desa bertulisan, "mohon maaf, akses masuk sementara kami tutup." Tulian sangat besar. Palang jalan berupa spanduk dan beberapa pemuda bergiliran menjaga.
Warga desa berpikir jika tidak ada orang luar yang masuk ke desanya maka penyebaran corona dapat ditahan. Dengan pemikiran pasti aktifitas seperti biasa dapat di lakukan tanpa kekhawatiran.
Oleh karena itu, ketika perayaan walimah perkawinan tidak boleh mengumpulkan sekian banyak orang, selamatan, maulidan, dan yasinan, dan lain-lain tetap berjalan seperti biasa. Seperti sebelum corona datang.
Kondisi itu memang mampu bertahan selama 3 bulan. Sejak juni hingga september. Dan benar, tak ada kabar warga yang kena corona.
Para penyadap karet, seberapa jauh sih perjalanannya ke luar daerah? Tanpa ada corona saja, paling banter jika lebaran atau ada hajatan saja mereka mengunjungi keluarga. Apalagi ada corona, tambah malas tentu saja.
Lalu beberapa minggu kemarin warga diributkan dengan salah seorang warga yang meninggal, katanya kena corona. Apa pasal?
Namanya juga seorang laki-laki memiliki lebih dari satu isteri. Tak mungkin dengan alasan corona kemudian jatah bermalam untuk para isterinya ditinggalkan apalagi dilupakan.
Maka dengan sembunyi-sembunyi ia pun mendatangi isterinya ke luar daerah. Apa yang terjadi?