Mohon tunggu...
Arif L Hakim
Arif L Hakim Mohon Tunggu... Konsultan - digital media dan manusia

digital media dan manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

PR Kota Yogyakarta Agar Benar-benar Berhati Nyaman

7 Oktober 2017   22:36 Diperbarui: 8 Oktober 2017   05:41 3332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tugu Yogyakarta, salah satu landmark populer di Kota Yogyakarta (dok. pribadi)

Sebagai daerah wisata, Kota Yogyakarta sudah begitu familiar bagi masyarakat. Tugu, Malioboro, Kraton, Tamansari, dan Pasar Beringharjo menjadi tempat-tempat favorit jujugan wisatawan yang bertandang ke kota gudeg ini. 

Di balik berbagai hiruk pikuknya, Kota Yogyakarta berhadapan dengan berbagai hal yang perlu segera diselesaikan. Sebagai ibukota provinsi, permasalahan Kota Yogyakarta hampir sama dengan daerah lainnya, seperti Bandung dan Jakarta. 

Luas wilayah Kota Yogyakarta hanya 32,5 km2 (atau hanya 0,01 persen dari luas wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta). Dengan luas kawasan tersebut, yang harus diurus pertama adalah masalah kebutuhan lahan. 

Seiring dengan pertambahan penduduk, kebutuhan akan lahan semakin meningkat. Sesuai data terakhir yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), kepadatan Kota Yogyakarta pada tahun 2016 telah menyentuh angka 12.853,66/km2. Kota Yogyakarta pun menjadi daerah terpadat di DIY. 

Grafis kepadatan Kota Yogyakarta (www.twitter.com/humas_jogja)
Grafis kepadatan Kota Yogyakarta (www.twitter.com/humas_jogja)
Angka kepadatan akan bertambah seiring dengan pertumbuhan penduduk. Di sisi lain, Kota Yogyakarta yang terkenal dengan keramahannya juga mengundang orang untuk pindah penduduk maupun menikah dengan orang Yogyakarta. Ditambah lagi dengan pertambahan penduduk yang bersifat temporer, seperti mahasiswa, pekerja, maupun wisatawan. Permasalahan kepadatan ini dikhawatirkan akan memicu berbagai dampak negatif, seperti kriminalitas, konflik antar kelompok, maupun persaingan hidup antara si kaya dan si miskin. 

Permasalahan berikutnya adalah perumahan. Ketersediaan lahan yang semakin menipis memaksa harga properti menjadi tinggi. Saat ini, begitu susah mencari rumah dengan harga terjangkau. Di sisi berikutnya, kebutuhan air bersih pun perlu diperhatikan. Karena semakin banyaknya alih fungsi lahan di Kota Yogyakarta menjadi bangunan, resapan air pun semakin berkurang.

Bertambahnya penduduk juga akan berdampak pada urusan lainnya, salah satu yang kontras terlihat adalah masalah kemacetan. Jumlah jalan yang tidak bertambah, berbanding terbalik dengan pertumbuhan kendaraan yang beredar di jalanan Kota Yogyakarta. Pada tahun 2012, titik jenuh kemacetan Kota Yogyakarta telah mencapai 0,7-0,8 dari skala masimal 1 (sumber: Tribun Jogja). Permasalahan ini relatif tidak ada penanganan serius selama lima tahun terakhir. Pada tahun 2017 ini, titik jenuh sudah hampir mencapai puncaknya. Dalam publikasi okezone.com, disebutkan bahwa titik jenuh kemacetan di Kota Yogyakarta sekitar 0,8-0,9. 

Polemik kemacetan di pusat kota ini mulai jelas muncul saat melihat kondisi riil di jalanan yang semakin memprihatinkan. Sudah mirip Jakarta, pengendara di Kota Yogyakarta mulai lupa lampu merahnya di mana, berhentinya di mana. Ruang tunggu sepeda pun tak dipedulikan fungsinya karena lebih sering diisi kendaraan bermotor. Tak sedikit pula yang menyerang trotoar untuk dijadikan jalan bagi kendaraannya.

Stuck di Jalan Kusumanegara, Kota Yogyakarta (dok. pribadi)
Stuck di Jalan Kusumanegara, Kota Yogyakarta (dok. pribadi)
Ruang Tunggu Sepeda di salah satu jalan di Kota Yogyakarta (dok. pribadi)
Ruang Tunggu Sepeda di salah satu jalan di Kota Yogyakarta (dok. pribadi)
Dampak lain dari kurangnya penanganan urusan perhubungan ini adalah tidak jelasnya aturan mengenai parkir. Di beberapa ruas jalan, tampak dengan jelas kendaraan justru sengaja diparkir di fasilitas pejalan kaki. Sebagai daerah wisata, jelas ini sangat mengganggu, terutama wisatawan yang datang dari jauh, apalagi wisatawan mancanegara.

Trotoar yang diserang kendaraan (dok. pribadi)
Trotoar yang diserang kendaraan (dok. pribadi)
Tepi jalan yang lama-lama jadi parkir permanen (dok. pribadi)
Tepi jalan yang lama-lama jadi parkir permanen (dok. pribadi)
Hak pejalan kaki yang berubah menjadi lahan parkiran (dok. pribadi)
Hak pejalan kaki yang berubah menjadi lahan parkiran (dok. pribadi)
Hak pejalan kaki yang direnggut oleh restoran (dok. pribadi)
Hak pejalan kaki yang direnggut oleh restoran (dok. pribadi)
Kota Yogyakarta seharusnya belajar dari Jakarta untuk masalah kemacetan. Sebelum semua terlanjur macet di mana-mana, sebaiknya segera diputuskan dan ditegaskan dengan tindakan-tindakan nyata agar kondisi jalanan Kota Yogyakarta tetap nyaman.  

Kota Yogyakarta juga relatif masih kurang memiliki ruang publik sebagai wadah ekspresi warganya. Berbeda dengan di Kota Bandung yang justru masive menyediakan taman-taman bertema, perkembangan ruang publik di Kota Yogyakarta hanya itu-itu saja. Sebutlah Pasar Ngasem yang pada masa Walikota Hery Zudianto direlokasi ke PASTY, Jl. Bantul. Pasar Ngasem kini menjadi lokasi andalan ketika ada event-event yang ada di Kota Yogyakarta. Selebihnya, penyelenggaraan event dilaksanakan di daerah-daerah penyangganya. 

Sampai sekarang, Kota Yogyakarta juga relatif masih belum hadir di tingkat nasional sebagai kota yang mengimplementasikan smart city untuk menangani berbagai keluhan warganya. Justru sebuah forum online bernama Info Cegatan Jogja yang secara swadaya menjadi rujukan utama warga ketika ada keluhan-keluhan publik tentang kotanya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun