Mohon tunggu...
Ariefyuri
Ariefyuri Mohon Tunggu... Pengajar

Pengajar yang mencintai proses belajar, baik di kelas maupun di kehidupan sehari-hari. Pecinta kopi hitam pakai gula maupun tanpa gula, warmindo oke, angkringan oke, dan penikmat mie dalam segala bentuknya. Suka mengamati situasi sekitar, menuliskannya dengan jujur dan santai karena setiap sudut kehidupan menyimpan cerita yang layak dibagi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Deep Learning Berhenti di Permukaan, Kritik dan Bertanya yang Dianggap Menyebalkan

28 September 2025   21:38 Diperbarui: 28 September 2025   21:38 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di ruang-ruang kelas modern, jargon deep learning sering dielu-elukan sebagai wajah baru pendidikan. Anak didik dituntut untuk berpikir kritis, analitis, bahkan reflektif. Guru-guru didorong merancang pembelajaran yang bukan hanya sekadar menghafal, melainkan mendorong siswa menyelami makna. Namun, ironi kadang muncul: ketika siswa benar-benar mencoba bertanya kritis, mengajukan argumen, atau bahkan memberikan kritik, mereka justru dicap "menyebalkan".

Pertanyaan pun menggelitik: buat apa capek-capek mengembangkan deep learning, jika keberanian untuk berpikir dan mengkritik justru dianggap gangguan? 

Deep learning menuntut siswa tidak hanya mengulang informasi, tapi membangun pemahaman. Ia mengajarkan untuk mengapa, bukan hanya apa. Namun, keberanian bertanya seringkali dianggap menantang otoritas. Alih-alih dilihat sebagai bukti literasi sejati, keberanian itu dipandang sebagai bentuk "kurang ajar".

Di sinilah paradoksnya, literasi sejati, sebagaimana disampaikan oleh banyak pakar, adalah keberanian berpikir dan bertanya. Tanpa ruang bagi kritik, deep learning hanya berhenti sebagai slogan yang indah tapi hampa.

Banyak sekolah masih memelihara budaya diam. Murid baik adalah murid yang tenang, mendengar, lalu menyalin. Padahal, deep learning justru menuntut sebaliknya, murid aktif, kritis, dan berani berbeda pendapat.

Ketika kritik dianggap menyebalkan, budaya tanya perlahan mati. Anak-anak pun belajar untuk "menyimpan" pikirannya, bukan menyuarakan. Pendidikan kehilangan jiwanya: proses dialogis.

Kritik sering diasumsikan sebagai perlawanan, padahal sesungguhnya ia adalah bentuk kepedulian. Murid yang berani bertanya sebenarnya sedang memberi sinyal bahwa ia terlibat, tidak pasif, dan memiliki rasa ingin tahu. Sayangnya, kejujuran ini sering dipatahkan dengan label "ribut", "menyulitkan", atau "tidak sopan".

Padahal, jika kritik dikelola dengan bijak, ia justru menjadi bahan bakar inovasi. Guru belajar dari murid, murid belajar dari guru. Proses pendidikan berjalan dua arah, bukan satu arah.

Jika benar ingin menumbuhkan deep learning, sekolah harus berani membuka ruang kritik. Guru perlu melatih diri menerima pertanyaan tak terduga, bahkan yang menohok. Orang tua juga perlu memberi dukungan agar anak tak sekadar patuh, melainkan mampu berpikir.

Karena, apa arti sebuah pembelajaran mendalam jika hanya berakhir pada kepatuhan tanpa pemahaman?

Deep learning seharusnya melahirkan insan merdeka, bukan insan takut. Jika kritik dianggap menyebalkan, maka siswa akan kembali pada pola lama: belajar hanya untuk menyenangkan guru, bukan untuk memahami hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun