Mohon tunggu...
Arief Setiawan
Arief Setiawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

pecinta kegilaan http://arieflmj.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Aku Berpikir karena Itu Aku Hampa

21 Januari 2011   09:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:19 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Akhir-akhir ini aku menenggelamkan diriku dalam cerita-cerita kehidupan. Kehidupan penuh sahaja, damai, dan menenteramkan hati. Cerita dari pelosok dengan segala rona kehidupan dan tradisi didalamnya. Tanpa dramaturgi, penuh keluguan dan kepolosan sebagai manusia seutuhnya. Barangkali sudah tak asing lagi tentang kehidupan bagi kita semua.

Kisah tentang wong sikep atau sedulur sikep yang biasa disebut suku Samin. Suku yang masih eksis di pedalaman Pulau Jawa dengan segala keriuhan didalamnya. Tetap berupaya menjaga eksistensi sebagai masyarakat adat ditengah tekanan modernitas. Masyarakat adat yang penuh nilai-nilai luhur dengan semngat kolektivitas tinggi. Kejujuran, kesederhanaan, dan solidaritas sosial tinggi jadi warna utama kelompok masyarakat ini. Altruisme jadi pemahaman utama atau basis tindakan. Saat membaca tulisan atau artikel tentang mereka, ragaku seolah-olah berkumpul dengan mereka. Padahal secara fisik aku tak pernah berkunjung ke wilayah mereka di sekitar perbatasan Jatim-Jateng ini. Pemahaman tentang kemanusiaan tergambar utuh disana. Mereka tak mengenal pembedaan manusia atas dasar derajat atau apa pun. Kemanusiaan adalah satu. Tak mengenal batas apa pun, begitu pula sikap egaliter yang selalu dijunjung tinggi. Tak peduli, pejabat maupun rakyat biasa, tetaplah sama kedudukannya sebagai manusia.

Kesederhanaan dan keluguan sedulur sikep itu melekat hingga meresap. Namun, setelah melanjutkan membaca artikel-artikel tadi hatiku tersontak. Marah dan mengutuk tindakan penguasa yang berselingkuh dengan korporasi. Kejadian di Pati (Jateng) akhir Januari lalu jadi penyebabnya. Tindak kekerasan menimpa mereka, dilakukan aparatur negara karena menolak pembangunan PT Semen Gresik di wilayahnya. Pemerintah juga lebih cenderung memihak korporasi dengan mengupayakan beragam cara melalui Pemda setempat. Bukan melindungi keberadaan mereka sebagai masyarakat adat.

Penolakan terhadap rencana pembangunan itu bukanlah tanpa alasan. Bagi sedulur sikep, alam adalah kehidupan. Keberadaan pabrik semen di wilayahnya dinilai akan menggangu keharmonisan manusia dengan alam. Juga eksistensi mereka sebagai masyarakat adat yang sebenarnya hidup sebelum republik ini lahir. Begitu pula keberadaan tanah bagi mereka. Tanah bukan sekedar tempat berpijak, lebih dari itu, bernilai sakral karena memori, harapan, dan kehidupan terkandung didalamnya. Meski berstatus sebagai masyarakat adat dengan tradisi sangat kuat dan bukan kelompok mainstream, mereka tetaplah manusia utuh dengan martabat. Mereka bukan kelompok orang primitif karena jauh dari hingar-bingar modernitas. Malahan, mereka jauh lebih modern dan demokratis dibandingkan aparat-aparat dan korporasi yang menekannya. “Imperialisme lahir karena si manusia belum layak mampu dan sikap kesadarannya sebagai manusia,” ujar Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya, HOAKIAU.

Sikap penolakan itu tentunya berimplikasi terhadap pandangan terhadap keberadaan wong sikep atau sedulur sikep ini. Mereka mungkin akan dicap irasional atau kolot karena menolak datangnya investasi yang menurut teori-teori ekonomi mainstream dapat membawa pada kemakmuran akibat adanya trickle down effect, bertitik tolak pondasi modernitas yang begitu mengagung-agungkan rasio sebagai metode berpikir, cogito ergo sum (aku berpikir karena itu aku ada). Rumusan Rene Descartes jadi panduan utama hal ini.

Tindakan memaksa aparatur negara terhadap mereka merupakan gambaran bagaimana rasionalitas dijalankan dengan membabi-buta. Rasio yang berlandaskan untung-rugi belaka tanpa memertimbangkan nurani. Memaksa agar rencana pembangunan industri terus berjalan meski harus menyingkirkan masyarakat adat dari kehidupannya. Rasionalitas seperti ini tentu saja membawa malapetaka. Ada baiknya bila Descartes ditinggalkan sejenak. Tak gunakan rasio dalam bertindak untuk menciptakan harmoni sebagaimana sedulur sikep lakukan. Selayaknya berpikir ulang terhadap rasionalitas. Aku berpikir karena itu aku hampa…

Dimuat juga di blog pribadi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun