Mohon tunggu...
Arief Nur Rohman
Arief Nur Rohman Mohon Tunggu... Guru - Manusia

Pegiat Moderasi Beragama Provinsi Jawa Barat. Menaruh minat pada Pendidikan, Pengembangan Literasi, Sosial, Kebudayaan, dan Pemikiran KeIslaman.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sastra Qurani: Sebuah Pendekatan Tafsir Sastrawi

16 Mei 2021   11:57 Diperbarui: 16 Mei 2021   12:11 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengkajian aspek sastra merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh seorang mufassir untuk melangkah ke tahap selanjutnya. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Al-Quran sebagai wahyu dan kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada umat manusia secara keseluruhan menggunakan bahasa Arab. Di dalamnya terdapat makna dan metafora berupa syair, puisi, bahkan cerita/ kisah yang memerlukan tinjauan lebih dari satu pisau analisis. Agar fungsi dan estetika Al-Quran sebagai petunjuk, pedoman, dan ajaran bagi manusia bisa lebih relevan dan dipahami secara optimal. Artikel ini bertujuan untuk menganalisa dan mengidentifikasi korelasi Al-Quran dengan karya sastra ditinjau berdasarkan pada pendekatan tafsir sastrawi.
Al-Quran dalam pemahaman para sarjana muslim didefinisikan sebagai "Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, melalui malaikat Jibril dan membacanya bernilai ibadah" (Al Qathan, 1973: 15). Dengan pengertian inilah, susunan kata-kata yang dapat dibaca dan dipahami hari ini adalah sebagai produk Ilahiah. Implikasi dari keyakinan tersebut adalah kecenderungan penafsiran yang mengarah berdasarkan pendekatan teologis. Pada dimensi lain, Al-Quran dipahami sebagai teks suci yang hakikatnya tidak terlepas dari pemaknaan teks berbahasa Arab dan terkait konteks ruang dan waktu yang historis. Para ahli bahasa Arab sepakakat mengakui ketinggian, keluasan, dan kedalaman makna yang dikandung Al-Quran dengan gaya yang digunakannya. Kedalaman makna itu tidak dapat diukur oleh kegeniusan manusia. Kenyataan ini memberikan status bahasa Al-Quran sebagai bahasa yang paling murni dan menakjubkan. Edward Moentent menyebutkan bahwa "Al-Quran dengan keagungan dan kemuliaan bentuknya, begitu padat, sehingga tidak ada terjemahan dalam suatu bahasa Eropa yang bisa menggantikannya".
Al-Quran satu-satunya kitab suci yang memiliki susunana bahasa yang sangat indah dan merdu. Syed Hossein Nasr menyatakan bahwa "Al-Quran terdiri dari bagian yang sifatnya berbeda satu sama lain; sebagian didaktis dan penuh keterangan, sebagaian lagi puitis, ringkas dan langsung pada pokok persoalannya. Al-Quran diturunkan dalam bentuk yang kadang agung dan penuh misteri seperti rumba belantara; kadang jernih, simetris, dan geometris seperti krtistal. Sebagian dari ayat-ayat Al-Quran diturunkan dalam bentuk orang pertama (pembicara) dan sebagian lagi dalam bentuk yang lain. Sesungguhnya, bentuk ekspresi dalam Al-Quran dan sifatnya yang demikian rupa adalah pokok seni Islam" (Syed Hossein Nasr, 1983: 34).
Hasil dari ekspresi kebahasaan, para pemikir kontemporer turut serta mengapresiasi dengan melakukan interpretasi gaya baru terhadap teks dengan menggunakan pendekatan sastra. Korelasi Al-Quran dan karya sastra ikut serta membidani kelahiran tafsir sastrawi. Tafsir sastrawi berupaya menangkap pesan abadi ke-Tuhan-an yang tertuang dalam kitab suci dengan memperhatikan tanda-tanda kebahasaan untuk mengaktualisasi pesan Al-Quran tersebut.
Sedari awal terbentuknya, Al-Quran sudah bersentuhan dengan tradisi kesusasteraan masyarakat Arab yang sudah mapan. Ketika interaksi itu berlangsung, supremasi al-Quran menjadi dominan. Secara sederhana interaksi yang terjadi antara al-Quran dan kesusasteraan berkisar pada tiga persoalan. Pertama, persoalan yang berhubungan dengan estetika, hubungan antara karya sastra dan filsafat keindahan dalam ruang transenden. Kedua, rujukan yang mengarah pada etika (Akhlak) dan kaitannya dengan hakikat sastra dan tujuannya dalam konteks sosiologis. Ketiga, masalah distingsi wacana dan pendekatan terhadap ekspresi dan proses kreatif dalam konteks tafsir hukum agama. (Hamdy Salad, 2000: 32).
Dalam perspektif al-Quran, tujuan utama sastra adalah membangun dan menggairahkan kerinduan manusia kepada Tuhan (dimensi spiritual) dan menyadarkan manusia atas diri dan lingkungannya (dimensi moral). (David James, 1974: 20). Oleh karena itu, sebagai sumber yang melengkapi setiap momentum estetika, Al-Quran dengan tegas mensyaratkan adanya keterpaduan antara dua entitas yang berbeda dalam sebuah ruang keindahan. Entitas yang dimaksud adalah dunia nyata (realitas objektif) dan dunia yang dibayangkan (realitas imajinatif).
Korelasi antara Al-Quran dengan sastra memiliki keterikatan subordinatif terhadap agama. Karena dalam proses kreatifnya, seorang sastrawan tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab yang diamanatkan Tuhan. Lebih lanjut, konsep sastra dalam Al-Quran dapat ditemukan berdasarkan karakteristiknya sebagai ekspresi estetik yang meletakkan esensi dan fungsinya untuk menyelaraskan kehendak manusia (misi kultural) dan kehendak Ilahiyah (visi transendental).
Pendekatan tafsir sastrawi terhadap Al-Quran menurut Al-Khuli harus melalui dua tahap pengkajian, yaitu kajian seputar Al-Quran (Dirasah ma Hawla Al-Quran) dan kajian tentang Al-Quran (Dirasah fi Al-Quran Nafsihi). Pertama, Kajian Seputar al-Quran. Al-Khuli membagi kajian tahap pertama ini ke dalam dua bagian, yaitu: (1). Kajian khusus dan dekat dengan Al-Quran, seperti pengetahuan tentang asbabun nuzul, proses kodifikasi Al-Quran, metode penulisannya, perbedaan qiraat, dan bahasa-bahasa lain yang terkait dan terangkum dalam Ulumul Quran. Pengkajian terhadap Ulumul Quran merupakan penelitian terhadap kerangka eksternal teks yang dapat menjelaskan batasan-batasannya dan menyingkap rumusan sebelum praktik penafsiran dimulai. (2). Kajian yang sifatnya umum karena terkait dengan bingkai lingkungan material dan immaterial wahyu. Kajian ini berusaha mengenal alam dan lingkungan material-immaterial kawasan jazirah Arab. Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui spirit Arab terkait Al-Quran baik dari aspek bahasa maupun risalahnya. Kajian geografis, klimatologi dan tumbuh-tumbuhan masuk dalam lanskap ini. Setelah itu, mengkaji sejarah kawasan Arab, ilmu pengetahuan, faktor sosiologis Arab, seperti sistem keluarga, klan, dan suku. Selain menelaah aspek kebudayaan dan seni dalam kehidupan suku bangsa Arab. Dalam pandangan Al-Khuli tak mungkin Al-Quran dapat dikaji dengan metode susastra secara baik kecuali setelah kita mengkaji elemen-elemen sosio antropologis komunitas Arab.
Kedua, Kajian tentang al-Quran itu sendiri. Fakta bahwa wacana Al-Quran menggunakan medium bahasa dalam menyampaikan perintah, larangan, aqidah dan norma etika telah meniscayakan metode susastra sebagai pangkal kajian dengan menganalisis kosa katanya terlebih dahulu. Kajian kosa kata ini bertujuan untuk melacak berbagai arti dan menyusun perubahan petunjuknya secara kronologis mulai dari masa turunnya wahyu hingga masa berikutnya untuk mencari makna orisinil yang kadang sudah bercampur dengan kosa kata lain pada masa kerasulan.
Pengkajian aspek sastra merupakan langkah awal yang harus dilakukan sebelum seorang mufassir melangkah ke tahap selanjutnya. Sederhananya ilmu Tafsir kontemporer dalam pandangan Al-Khuli adalah interpretasi sastra yang didsarkan atas metodologi yang tepat, kelengkapan aspek dan sinkronisasi distribusi pemahaman.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun