Mohon tunggu...
Aridha Prassetya
Aridha Prassetya Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati Masalah Ketidakbahagiaan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hubungan tanpa Status

7 April 2011   23:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:01 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kali ini tentang ilmu marketing.

Pada sebuah halaman facebook, seorang kawan menulis status rya adalah "menjalin hubungan tanpa status". Ia (tentu saja) lelaki. Beberapa minggu kemudian, aku mendelasinapat pemberitahuan lewat berandaku, bahwa kawanku itu merubah statusnya menjadi “sudah menikah”. Aku senang mendengarnya. At least, aku tahu ia berkehendak jujur. Beberapa kawan tentu saja ikut bahagia dan memberi ucapan “selamat ya!” Eh …beberapa minggu kemudian, ia ubah lagi statusnya menjadi “menjalin hubungan tanpa status”

Aku, tentu saja penasaran, mengapa kawanku ini suka sekali berubah-ubah status relasinya. Sebetulnya, membicarakan ini bisa jadi “cluthak” (jawa_usil), tetapi sudahlah, aku hanya ingin tahu motive-nya. Supaya apa? Supaya kawanku yang lain yang (selalu saja mengaku telmi itu, padahal expert) tidak perlu mengupasnya jauh lebih dalam… (pinjam istilah hypnotism)

Aku tanya kawan lelakiku itu, “perasaanku..bulan lalu kamu baru menikah, kok statusnya berubah lagi? Menjadi menjalin hubungan tanpa status?” Dan, inilah dialog selanjtnya:


  • “hey! It’s just a face book, you know?”
  • Yes, I (do) know it is just a facebook. But, I asked you why? And for what?
  • I need more friends….., if I set “married” there, less new friends become mine, then!, akunya.


Maksudnya jika ia taruh status “menikah”, maka mereka (calon kawan baru) akan menjauh dan ia hanya mendapat sedikit teman.

Aku garis bawahi kalimat itu. Dan aku hanya bilang “oh..”. Rupanya ini adalah kasus “ marketing self/self marketing”.

Wah, ini inspiring banget (dalam hatiku). He..he.., sebetulnya aku tidak perlu memikirkan hal ini, tetapi tetap saja aku merasa sedikit terusik. Biasanya, kalau ada yang mengganjal berarti ada yang tidak beres. Jadi aku minta maaf yang sebesar-besarnya kepada kawan lelakiku, yang kasusnya aku “curi” ini.

Apa ya.. yang sedang tidak pas? Maksudku, kata-kata apa yang “pas” untuk kasus kawanku ini..? Oh ya! Aku sudah menemukannya! Ia underestimate terhadap target pasarnya. (Jrin!!!, underestimate di sini kumaknai sebagai “mengecilkan/meremehkan”, so jelas kan?). Dalam ilmu marketing, underestimate target market, sangat dilarang. Apalagi ini berurusan dengan ilmu memasarkan diri.

Salah seorang guru dari India mengajariku soal spiritual marketing. Apapun bisnis yang tidak dimulai dengan niat baik, tidak memikirkan kepentingan dan kesejahteraan orang banyak dan lingkungan sejak ia mulai digagas untuk didirikan, maka bisnis itu tidak akan langgeng. Tidak ada ruh kesuksesan di sana.

Target pasar kawanku itu adalah perempuan. Ia kira bahwa dengan mengubah kembali statusnya menjadi “menjalin hubungan tanpa status”, akan dapat menarik lebih besar minat target pasar. Ternyata benar dugaanku, responds daritarget marketnya, tidak seperti yang dibayangkan. Hingga kutulis ini, market sharenya, belum bergerak. Dan aku hanya ingin berbagi, do not ever underestimate anything, anyone, anymore…it is dangerous..

Salam bahagia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun