Mohon tunggu...
Aridha Prassetya
Aridha Prassetya Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati Masalah Ketidakbahagiaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dimana Seharusnya Batas Kesantunan Sebuah Lawakan?

15 Desember 2011   23:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:12 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Artikel ini terinspirasi dari dialog kawan-kawan kompasianer soal final lawakan Stand Up Comedy yang memenangkan Ryan atas Akbar. Dalam tulisannya kemarin, analisis SP menyimpulkan bahwa seharusnya Akbar lebih pantas menang, BUKAN Ryan.

Dan….

Diantara balas komen tersebut, ada Deqs (ikut juga menyaksikan acara Grand Final), yang kecewa dengan lawakan Ryan. Ryan dinilai suka mengandung kata-kata jorok, tapi nyatanya toh bisa menang.

Diluar dugaan, jadilah ini diskusi yang merangsang seorang Butet Kartaredjasa untuk turun gunung. Gemas dengan tulisan SP, mendadak saja Mas Butet mendaftar menjadi kompasianer hanya untuk kepentingan merespon diskusi soal batas-batas moral dalam lawakan.

Tidak bisakah melawak tanpa dialog-dialog pelecehan dan hal-hal berbau pornografi? Tidak LUCUKAH  melawak tanpa dialog-dialog pelecehan dan hal-hal berbau pornografi?

Entahlah..., yang jelas selalu saja ada ketersinggungan ketika seorang pelawak diingatkan dan dikritisi dalam hal yang satu ini. Bicara etika, bicara kesantunan dan bicara moral, sangat bisa jadi boomerang dan menghantam balik sang pembicara.

Ketika materi lawakan dihadapkan pada tuntutan (masukan) kesantunan, maka tak pelak jawabannya adalah, “…Maaf saya tidak mau jadi orang munafik” atau “saya bukanlah pejuang moral yang baik..”.

Semestinya disadari bahwa ini bukan BERHENTI pada soal SAYA di panggung, tetapi ini menyangkut soal KITA, pemirsa segala usia di seluruh Indonesia.

Ketika seorang SAYA tidak mau munafik, ketika seorang SAYA menggemari hal-hal yang jorok dan porno, dan ketika SAYA bukanlah pejuang moral yang baik, maka sebaiknya SAYA diam saja di tempat SAYA yang sekarang, tidak masuk ke wilayah lain dan menginspirasi yang lain secara terbuka, apalagi menjadi bahan tontonan bagi segala umur. (siapa yang bisa mengendalikan anak-anak menonton televise ketika orang tuanya tak sedang bersama mereka?)

Tidak relakah seorang "pekerja seni" sedikit saja membantu meringankan pekerjaan para orang tua dalam "mendidik" dan "mendampingi" pembelajaran anak-anak?

Inilah dialog menarik antara Deqs, SP dan Mas Butet:

SP:

“…Seharusnya juri melihat hal ini sebagai bukti bahwa Akbar memiliki talenta. Sangat-sangat jarang STANDING APLAUSE diberikan kepada seorang peserta perlombaan atau pertandingan jika bukan memiliki sesuatu yang spesial.”

Deqs:

"...Sebagaimana yang dituliskan Pak SP di atas, Akbar memiliki karakter komedi-an yang memberikan kritik sosial dari apa yang ia suguhkan kepada pemirsa. Nilai minus yang bagi saya tidak baik untuk suguhan pemirsa dari Ryan adalah, tidak sedikit lucu-annya yang berbau “j o r o k” dan tidak mendidik untuk di dengar. Bagi saya Akbar tetap sang juara. "

SP:

MESKI RYAN MENGATAKAN KATA “MAAF” PADA GAYA BERCINTA, MAKA TIADA KATA MAAF BAGINYA, KECUALI sudah kalah ia di mata SP. Sungguh kurang terpuji, anak baru gede begitu bicara yang tidak patut di depan orang tua dan orang dewasa lainnya. Mengapa tidak menjadikan NILAI MINUS oleh ke-3 dewan juri?

Mas Butet:

“…Untuk canda seperti yang disajikan Ryan dengan penonton terbatas dan orang-orang terdidik, bagi saya, bukanlah perkara yang terlalu serius untuk digunjingkan. Untuk mengurus perkara moral, terus terang saya belum terlatih untuk jadi manusia munafik..

Soalnya, jika perkara verbalitas itu dipermasalahkan, mungkin sebagai juri saya yang paling layak untuk dibuang. Lha saya hobinya mengobral pujian dengan kata “asu” dan “juancuk”,…pasti harus lebih dulu di-drop. Kalau di-drop malah enak, nggak usah ke Jakarta dan bisa ngencuk istriku di rumah. Tuh kan,….jorok ta? Nggak sopan ta….??? (Aku memang bego pol, belum sukses jadi pejuang moral,..ha ha ha). Wasaalam…”

Sepakat dengan pendapat hampir setiap orang, saya tidak ingin menjadi munafik, pun bukan penulis suci, tetapi saya hanya ingin bertanya kepada sahabat kompasianer di sini.

Ssetelah membaca dialog mereka di atas, apa yang ada dalam benak sahabat kompasianer?

Apa sebaiknya yang kita bisa lakukan terhadap anak-anak kita?

Salam bahagia

Tautan :

http://hiburan.kompasiana.com/humor/2011/12/15/bila-juri-jakarta-centris-menilai-grand-final-stand-up-comedy/

http://www.kompasiana.com/deqz

http://www.kompasiana.com/MasButet

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun