Saat ini masyarakat Indonesia tengah fokus pada perjuangan Tim Nasional Sepak Bola Indonesia, yang tengah melakoni babak keempat kualifikasi Piala Dunia Zona Asia. Hiruk pikuk persiapan pertandingan dan prediksi ramai menjadi bahan obrolan masyarakat, tidak hanya di media sosial, warung kopi, cafe and resto, bahkan ojek pengkolanpun, turut menjadi komentator dadakan fase keempat kualifikasi Piala Dunia. Dimana-mana orang membeli camilan ringan, karena kuatir jika terlalu berat maka terus mengantuk dan tertidur, untuk sekedar buat teman nonton bareng atau sendiri di rumah masing-masing, terutama bagi yang sampai saat ini masih tetap menjomblo.
      Di tengah hiruk pikuk gelaran kualifikasi Piala Dunia saat ini, ada beberapa kejadian menarik yang (mungkin) terlepas dari pengamatan khalayak ramai. Pertama, kondisi harga emas batangan dan beberapa merk emas ternama di Indonesia, yang terus mengalami kenaikan, tanpa memperhatikan rambu-rambu di jalan. Harga beli emas pegadaian saat ini telah mencapai Rp. 2.235.000,-/gram. Nilai ini lebih tinggi Rp. 400.000,-/gram dibandingkan harga dua minggu lalu. Kedua, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat saat ini juga terus mengalami tekanan dan penurunan. Hingga di sesi penutupan akhir perdagangan hari ini, Rabu, 8 Oktober 2025, nilai tukar rupiah ditetapkan menjadi 1 dollar Amerika Serikat sama dengan Rp. 16.600,-.
      Terus, kenapa kita harus susah payah mikirin harga emas dan dollar ya?
      Puyeng gue.....
      Lagi-lagi, bukan kitanya yang sok serius, di saat semua mata tidak memandang kita. Di saat semua mata hanya memandang layar televisi yang sedang menayangkan siaran langsung pertandingan Tim Nasional Indonesia berhadapan dengan Tim Nasional Arab Saudi, ada kecemasan di hati. Bukan hanya cemas akan hasil akhir pertandingan, namun lebih daripada itu, seharusnya masyarakat mulai cemas akan nasib bangsa ini. Sudah kayak pengamat politik aja ya? Hehehehehehe....
      Ya, kondisi harga emas yang terus naik, dengan sebaliknya kondisi nilai tukar rupiah yang cenderung menurun, adalah salah dua dari gejala awal penyakit kronis ekonomi suatu bangsa, yang biasanya oleh dokter dan pakar kesehatan ekonomi dinamakan inflasi. Ketika kondisi kesehatan suatu bangsa telah terserang penyakit inflasi, maka gejala selanjutnya adalah imunitas masyarakat yang berupa kemampuan/daya beli akan menurun, karena ketidakberdayaan masyarakat untuk membeli barang kebutuhan pokok sehari-hari; ditambah kekebalan imunitas barang kebutuhan pokok yang sedemikian perkasa, membuat harganya juga semakin menanjak curam; membuat masyarakat akan sama sekali pasrah tanpa memiliki kemampuan dalam membeli suatu barang kebutuhan.
      Dampak selanjutnya, (mungkin) akan seperti fenomena yang kita lihat di film G30S/PKI, film Jakarta 66, dan film GIE, serta cerita kelam saat tahun 1998, yaitu terjadi inflasi besar-besaran, yang akhirnya membuat masyarakat kesulitan membeli dan mendapatkan barang-barang kebutuhan pokok, hingga membuat banyak demonstrasi di masyarakat, yang sampai menggulingkan tampuk kepemimpinan nasional. Semoga ini hanyalah cerita sejarah kelam semata. Aamiin.
      Terlepas dari itu semua, sangat dimungkinkan terjadi di saat ini, di tengah gemuruh kualifikasi Piala Dunia, Indonesia akan benar-benar bisa lolos dan masuk ke Piala Dunia. Namun sebaliknya, di tengah situasi perekonomian yang saat ini sedemikian labil, bisa juga membuat Indonesia benar-benar masuk ke dalam jurang masa inflasi jahat di masyarakat. Apabila kedua hal itu yang terjadi, maka Indonesia bakalan berlaga di Piala Dunia tanpa dukungan suporter fanatiknya, karena masyarakat jelas-jelas tidak akan mampu membeli tiket dan pergi menonton Piala Dunia ke Amerika Serikat, kecuali bagi kaum borjuis berduit, yang menyimpan tabungan dalam bentuk dollar Amerika Serikat.
      Kondisi diatas jelas akan semakin memperlebar jurang kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Si kaya borjuis yang memiliki banyak tabungan dollar, akan semakin banyak mendapatkan kekayaan, dari kondisi harga emas yang naik semakin tajam dan nilai tukar rupiah yang semakin terpuruk di hadapan dollar Amerika Serikat. Sementara, si miskin proletar akan semakin melarat dan mati kelaparan, karena ketidakmampuan membeli barang-barang kebutuhan pokok.
      Menyikapi situasi dan kondisi Indonesia yang bagaikan di ujung payung saat ini (karena tombak harganya juga semakin mahal, seperti harga logam mulia, hehehehe), Pemerintah seharusnya segera melakukan langkah-langkah perbaikan kondisi fiskal Indonesia. Tidak hanya memperbaiki permainan dan pemain Tim Nasional sepak bolannya saja. Namun perlu juga melakukan langkah konkret yang dapat mengatasi gejolak inflasi di masyarakat. Jadi tidak hanya pada kualitas permainan Tim Nasionalnya saja, namun sisi dukungan logistik dan dana serta penganggarannya, juga harus diperbaiki. Langkah apapun yang bakal diambil oleh Pemerintah, pasti akan dapat menimbulkan konsekuensi positif dan negatif. Sehingga diperlukan pilihan langkah bijak yang bersifat prioritas terlebih dahulu, misalnya dengan menyelesaikan inflasi terlebih dahulu, baru setelah itu menyelesaikan efek negatif inflasi lainnya. Diharapkan, setelah gejala inflasi ini teratasi, maka masyarakat bisa lebih enjoy dalam menikmati pertandingan Tim Nasional Indonesia di kancah Piala Dunia. Jadi, di saat Tim Nasional Indonesia tengah berjuang untuk lolos ke Piala Dunia, Pemerintah dan masyarakat Indonesia juga semestinya berjuang untuk lolos dari jurang degradasi inflasi ekonomi. Sehingga gelaran Piala Dunia, akan dapat membuat masyarakat benar-benar dapat bersorak sorai bahagia bersama, karena lolos juga dari jurang degradasi inflasi ekonomi. Semoga. Aamiin.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI