Mohon tunggu...
Arfi Zon
Arfi Zon Mohon Tunggu... Auditor - PNS

PNS yang hobi olahraga dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gladiator, Bukan Fenomena Baru

16 Oktober 2017   09:29 Diperbarui: 16 Oktober 2017   14:26 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Akhir-akhir ini, marak berita duel ala "gladiator" di kalangan pelajar. Setelah heboh kasus siswa SMA di Bogor yang tewas karena duel, baru-baru ini muncul lagi kejadian serupa. Kali ini melibatkan siswa SMP di Sukabumi.  

Kasus gladiator ini, sebenarnya bukan cerita baru. Fenomena ini sudah ada sejak lama. Setidaknya, sejak zaman saya SD dulu (sekarang umur saya 42 tahun). Ketika itu sudah banyak kasus gladiator di  kalangan murid SD. Iya, SD.

Mari kita ingat masa-masa kita SD dulu. Khususnya kita yang laki-laki. Ketika mem-flashback masa SD dulu, terasa "ngilu-ngilu" tulang mengingatnya. "Keras dan mengerikan" masa-masa itu. Saya yakin, sebagian kita mungkin lebih kurang sama dengan saya pengalamannya.

Zaman kita SD dulu, budaya kekerasan dan bully membully benar-benar kentara terasa. Di kelas, kita anak laki-laki ada stratanya berdasarkan level seberapa jagoannya kita. Jadi, kalau misalnya sekelas itu kita ada 20 orang, maka akan ada urutannya, siapa urutan pertama paling jagoan, kedua, ketiga, dan seterusnya sampai urutan 20.

Proses mendapatkan peringkat jagoan kelas ini bukan sembarangan. Ada yang melalui bergelut-gelut saja, misal saling piting sampai salah satunya gak bisa bergerak lagi dan menyerah, ada dengan cara saling plintir tangan sampai salah satunya ampun-ampuni karena kesakitan, bahkan ada yang sampai harus duel "resmi", berkelahi, fight, untuk menentukan siapa yang lebih jago. Ya, duel ala gladiator itulah. Perkelahian satu lawan satu, tangan kosong. Singkatnya, banyak proses saling membully dan saling melakukan kekerasan itu, sampai hirarki urutan jagoan di kelas itu established.

Setelah urutan jagoan kelas itu mapan, berikutnya pola pergaulan akan sangat dipengaruhi oleh di posisi jagoan nomor berapa kita. Jagoan nomor satu akan benar-benar disegani. ditakuti, disanjung-sanjung, dan jadi panutan urusan "kekerasan". Yang tingkat kejagoanannya sedang-sedang saja, masih "menderita" oleh yang lebih jago, tapi masih bisa membully ke bawah. Yang menyedihkan, kalau kita urutan terakhir, terpaksa harus berpandai-pandai mencari backing.

Setelah strata jagoan kelas itu stabil, yang mana tidak ada lagi proses perubahan posisinya, misal jagoan urutan 5 merasa bisa naik ke posisi 2, maka selanjutnya gengsi sekolah dipertaruhkan. Caranya, dengan berusaha menguji, ada di posisi mana jagoan nomor satu di sekolah kita dibanding jagoan-jagoan nomor satu di SD-SD lainnya. Ini sering terjadi di SD-SD yang berdekatan lokasinya. 

Dimulai dengan saling membanggakan jagoan nomor satu di sekolah masing-masing. Saling merasa bahwa jagoan di sekolah merekalah yang paling hebat. Sampailah, akhirnya, merasa perlu dibuktikan siapa yang paling jago. Mereka harus duel layaknya "gladiator". Demi pembuktian siapa jagoan terhebat diantara beberapa SD. Saya pernah menyaksikan duel ini. Sampai berdarah-darah. Tidak diketahui orang dewasa sama sekali, karena memang sengaja dicari tempat yang benar-benar jauh dari pantauan orang dewasa. Ngeri...

Begitulah pengalaman yang saya rasakan di masa SD. Masa kanak-kanak padahal. Masa-masa yang identik dengan kepolosan, keluguan, dan masih bermanja-manja dengan orang tua. Tapi, justru di masa itulah saya sering menjadi saksi duel "gladiator" antar anak SD. Walaupun, seingat saya, duel-duel itu hanya terjadi antara sesama murid yang "cap mau" saja. Hanya antar mereka yang memang sama-sama merasa jagoan, dan berselera untuk duel. Berbeda dengan kasus di Bogor. Pada kasus itu, si korban kabarnya tidak mau duel, tapi dipaksa oleh teman-temannya.

Dan anehnya, fenomena duel ini tidak pernah sama sekali saya saksikan, maupun dengar ceritanya ketika saya SMP maupun SMA. Apakah anak usia SD zaman itu memang lebih brutal dan bersumbu pendek? Entahlah. Namun, berdasarkan pengalaman pribadi saya, jawabannya, iya.

Anak SD zaman sekarang bagaimana kira-kira, ya? Mudah-mudahan tidak seperti zaman saya lagi. Setelah menjadi orang tua, rasanya tak sanggup membayangkan anak-anak saling berkelahi, duel, berdarah-darah, seperti yang sering saya saksikan dulu. Semoga benar-benar sudah berbeda zamannya kini. Aamiin..  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun