Pendahuluan
 Di dunia modern ini, kita tidak memberi banyak pemikiran terhadap industri maritim dan perkapalan. Lautan membentuk sekitar 70% dari total permukaan Bumi, karena itu laut telah lama digunakan sebagai jalur transportasi. Meskipun di abad 21 transportasi udara lebih menjadi pilihan bagi penumpang untuk bepergian, mayoritas perdagangan barang dan komoditas masih melewati jalur laut. Berdasarkan data tahun 2020, ada lebih dari 90.000 kapal dagang di dunia yang melakukan kegiatan ekonomi secara internasional, mengangkut berbagai komoditas ke seluruh belahan dunia. Kapal dagang sangat penting keberadaanya bagi ekonomi global, mengangkut sekitar 90% volume perdagangan dunia. Walau sistem perkapalan ini telah bekerja dengan baik sejak lama, sampai saat ini kita belum dapat menghilangkan dampak negatif emisi yang dihasilkan dari jalur perdagangan laut terhadap lingkungan.Â
Saat ini, hampir semua kapal dagang yang beroperasi menggunakan bahan bakar fosil dalam jumlah besar. Diperkirakan mobilitas  jalur pengiriman melalui laut menyumbang sekitar 3% dari seluruh total emisi CO2 di dunia. Jumlah tersebut setara dengan jejak karbon dari 217 juta rumah atau kurang lebih setara dengan pembakaran 387 miliar liter bensin. Satu kapal kargo kontainer berukuran besar dapat mengeluarkan emisi sulfur dioksida setara dengan 50 juta mobil berbahan bakar bensin. Pada tahun 2020, angka kematian prematur global yang disebabkan oleh emisi bersumber dari perdagangan laut , diproyeksikan sekitar 265.000 kematian (0,5% dari angka kematian global). Dampak ini sudah terlalu besar untuk diabaikan, karena itu perlu adanya metode baru dan modern untuk menggerakan kapal laut yang tidak menghasilkan emisi.
Sejarah
Kapal laut harus dapat menjangkau berbagai pelabuhan antar lautan yang berjarak ribuan kilometer, tanpa harus berhenti untuk mengisi ulang bahan bakar. Pada  abad ke 21, sekitar 80% dari total kapal yang melintas lautan menggunakan mesin diesel sebagai metode propulsi untuk menggerakan kapal tersebut.Â
Sebelum abad 21, tepatnya pada pertengahan abad ke 20, mesin diesel belum dapat dipakai untuk transportasi laut karena masih  butuh penyempurnaan lebih lanjut. Pada zaman itu, kapal laut  menggunakan metode propulsi berupa mesin uap yang nantinya berevolusi menjadi turbin uap. Uap yang diperlukan untuk menggerakan turbin kapal diproduksi melalui proses pembakaran batu bara atau minyak mentah dalam boiler pemanas air.
Mayoritas pada zaman itu, metode propulsi uap terbukti sebagai metode yang efektif dalam menggerakan kapal laut. Bahkan kapal samudera bertenaga uap, SS United States, masih memegang rekor sebagai kapal uap lintas samudra tercepat di dunia (38,32 knots). Akan tetapi, permasalahan yang muncul dengan metode propulsi ini adalah bukan  uap yang dihasilkan, tetapi cara uap itu diproduksi. Untuk memproduksi tekanan uap yang cukup, kapal uap perlu membakar ratusan ton batu bara atau -ribuan liter minyak mentah setiap kali kapal melintas lautan. Proses pembakaran bahan bakar fosil sejumlah itu berdampak sangat buruk  terhadap lingkungan dan kesehatan. Selanjutnya, bagaimana jika kita mencari alternatif metode untuk dapat memproduksi uap yang tidak menghasilkan emisi?
Sebuah Intipan Ke Masa Depan
Di tahun 1962, pertanyaan diatas itu dijawab oleh hadirnya Nuclear Ship Savannah (N.S. Savannah). N.S. Savannah adalah kapal dagang bertenaga nuklir pertama di dunia. Diluncurkan pada 21 Juli 1959, N.S. Savannah dibuat untuk membuktikan bahwa tenaga nuklir adalah sumber energi yang aman, ramah lingkungan, dan hampir 'tak terbatas', yang berpotensi merevolusi sistem transportasi laut. Kapal ini diresmikan sebagai bagian dari program "Atoms for Peace" Amerika Serikat, yang bertujuan untuk memperlihatkan potensi penggunaan energi nuklir dalam transportasi maritim.