Sejak pandemi Covid-19 melanda hampir seluruh sektor perekonomian terkena imbasnya sekali pun fluktuasi harga masih bisa dimaklumi. Dalam arti kadang jatuh terpuruk namun kadang juga naik sekali pun tak sebagus saat belum ada pandemi. Salah satu yang terserang adalah sektor pertanian apalagi jika kota besar tempat penjualan sedang dibatasi geraknya demi pencegahan penularan Covid-19.
Menjelang pertengahan 2020 harga lemon tersungkur sangat rendah hanya seribu rupiah di tingkat petani. Kami yang tergoda bahwa lemon yang banyak mengandung vitamin C akan menjadi salah satu bahan minuman yang dapat meningkatkan imun tubuh mencegah serangan Covid-19, ternyata meleset. Padahal terlanjur borong sewa selama setahun.
Dua bulan lalu kembali terpuruk karena kembali salah perhitungan, mengira bahwa hari raya Idul Fitri kondisi mulai normal sehingga bisa mudik dan aktifitas tradisional berupa selamatan menjelang hingga selesai lebaran kembali normal dan harga sayuran pun terjaga. Ternyata gerak mudik tertutup. Maka harga sayur pun tersendat.Â
Pasokan melebihi kebutuhan. Dan sialnya, milik kami justru masa panen sesudah hari raya di mana tak ada lagi yang selamatan dan pasar sepi serta permintaan tak ada. Kebun sawi pun hanya jadi ladang indah untuk selfi. Bukan hanya sawi, nasib tomat pun tak seberapa jauh berbeda. Hanya saja tomat bisa 5-7 kali panen dengan fluktuasi harga yang lumayan.Â
Panen perdana dan kedua harga sedang bagus, panen ketiga dan empat mulai turun, panen keenam harga mulai anjlok. Dan panen ketujuh dan delapan sudah tak mungkin lagi dipanen untuk dijual selain diberikan ke teman atau tetangga.
Rugi? Kalau dihitung secara ekonomi tentu rugi. Tapi tidak sepenuhnya sebab itulah dinamika sebagai petani. Bisa karena salah perhitungan, cuaca tak menentu, dan kali ini juga karena adanya pandemi Covid-19. Di sisi lain berbagi kepada sesama juga tak ada ruginya. Pepatah dan peribahasa Jawa mengatakan: tuna satak bathi sanak. Artinya, rugi uang tapi menambah persaudaraan.