Tanggapan atas tulisan:
Tamita_Wibisono/5d62c49a0d823066c542c5f8: generasi-milenials-dan-tembang-macapat-semoga-bukan-keniscayaan
Rahab Ganendra: video-kompasianer-pentas-nembang-macapat-di-tmii
Agak kaget namun juga senang dan bangga, ketika membaca dan melihat  postingan dan vlog dari Mas Rahab Ganendra (Boss Madyang) dan Mbak Tamita Wibisono di instagram, facebook, dan Kompasiana yang menulis atau mewartakan kegiatan Workshop Macapat 2019 di Anjungan DIY Taman Mini Indonesia Indah. Empat Kompasianer yang ikut pastilah kita kenal semua si ahli keluarga Mas Agung Han, si pengamat motogp Mbak Ya Yat, Mas Ganendra yang dulu saya kenal sebagai seorang fiksianer, dan si lincah Mbak Tamita Wibisono.
Agak kaget karena siapa sangka mereka begitu tertarik lalu menulis dan menayangkan pengalamannya. Bangga, karena awalnya kukira hanya sekedar meliput. Begitu melihat foto mereka yang tampil nJawani dan ikut latih swara yang ternyata tak terduga. Kalau Mbak Tamita memang sudah terbukti kala macapatan bersama istri penulis sekitar enam bulan lalu di Padepokan Seni Mangun Dharmo, walau hanya sebentar.
Di Malang sendiri, boleh dikatakan cukup pasif. Memang masih ada sekitar dua puluh komunitas budaya yang sering menampilkan kegiatan macapatan atau sesekaran macapat dalam bahasa Indonesia melantunkan tembang macapat lalu menjelaskan dan merenungkan isi dan ajaran yang terkandung dalam tembang macapat tersebut. Kitab yang sering menjadi rujukan adalah Serat Wedhatama karya Mangkunegara IVÂ namun juga dari serat-serat lain jika untuk menceritakan sebuah sejarah yang penuh dengan ajaran moral dan etika. Penulis sendiri, jika memberi renungan sering memakai Sekar Macapat Injil Papat karya Romo Sindhunata, SJ.
Sebagai pegiat macapatan, penulis dan istri setiap minggu mengikuti enam komunitas macapat yang ada di kota dan kabupaten Malang. Pesertanya kebanyakan memang para lansia, namun kala ada semacam pertunjukan sering didukung dan dibantu oleh mahasiswa jurusan sastra dan seni budaya Universitas Negeri Malang  atau sekolah-sekolah lanjutan yang masih mempertahankan seni tradisional.
Merupakan kebanggaan jika tembang macapat masih mendapat hati dari mereka yang peduli. Penulis pun percaya, kita semua mencintai dan peduli hanya kesempatan untuk menjalani masih belum terbuka. Sebuah perjuangan memang harus dilakukan akan budaya kita yang adi luhung. Pengorbanan akan tenaga, waktu, dan finansial tidak akan sia-sia sebab jati diri budaya Nusantara akan tetap lestari.
Tertarik? Di rumah ada gambang, suling, gender, demung, siter, dan rebab siap untuk macapatan bersama.