Mohon tunggu...
Ardy Milik
Ardy Milik Mohon Tunggu... Relawan - akrabi ruang dan waktu

KampungNTT (Komunitas Penulis Kompasiana Kupang-NTT)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dunia Kampus dan Cerita yang Berpendar di Dalamnya

25 Januari 2019   00:41 Diperbarui: 30 Maret 2019   00:34 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: ibnuariyanto.blogspot.com

Sepenggal Cerita Kampus
Dunia kampus. Asing tapi menarik. Masuk dalam dunia baru dengan masa orientasi mahasiswa baru atau kini disebut Pekan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB), terbentur dengan senioritas yang terkadang sok jagoan sok berilmu.

Pusing dengan rumitnya teori, tugas menumpuk, dosen yang kikir nilai dan ilmu, manajemen kampus yang korup dan bobrok hanya terus menaikkan bea regis setiap tahun tanpa ada perbaikan berarti, mahasisiwi/a yang hobinya mencontek, mengenal dan memahami sedikit dari arti cinta dengan menjalaninya bahkan membuahkan hasil 'bercinta', dompet yang sering diisi uang receh atau Kapitan Patimura (gambar pahlawan uang pecahan seribu rupiah), idealisme berdarah darah hingga semester menumpuk jadi mahasiswa abadi, tugas akhir yang butuh jokinya atau dikerjakan dengan idealisme hingga sulit naik meja ujian sampai pesta wisuda berdarah atau gelar sarjana yang tidak dapat diaplikasikan ilmunya.

Memahami dinamika Kampus
Hidup dan belajar di dalamnya adalah impian umum para orang tua dan mungkin beberapa pribadi yang telah melewati masa anak. Dunia kampus adalah salah satu 'tangga untuk naik kelas' hingga meningkatkan prestise sosial di kalangan kelas menengah ke bawah. Kelas sosial bagi keluarga dan pribadi yang bergelut di kampus akan berbeda dengan yang sama sekali tidak mengecap dan menamatkan pendidikan dari perguruan tinggi. Pemahaman umum yang telah menjadi kesepakatan bersama ini tentunya punya kesesatan logika 'falacia nalar' yang butuh dibedah serius agar kita tidak lagi hidup dalam warisan kesesatan dari generasi ke generasi.

Menurut Saya, kampus bukan satu-satunya 'jalan kebenaran dan hidup' yang dapat menjamin tingkat kedalaman pengetahuan dan kemampuan menerapkan ilmu dalam kenyataan keseharian. Kampus hanyalah salah satu alat dan tempat pembentukan 'formare' seseorang menjadi tahu dan sadar diri akan siapakah dirinya berhadapan dengan dirinya, orang lain, masyarakat dan negara.

Kampus adalah gudang ilmu, tempat teori diuji, dilahirkan baru, hingga mungkin akan dipraksiskan. Pertautan antara teori dan praksis yang berbuntut hingga lahirlah pengulangan akan teori yang sudah dilahirkan ratusan tahun lalu dan tetap jadi kutipan, atau teori yang mengawang hingga untuk mempelajarinya pun mahasiswi/a-nya jadi tertidur di bangku ruang kuliah entah karena kelelahan mendengarnya, dosen yang tidak mampu menerjemahkan idea yang begitu tinggi atau karena semalam mahasiswi/a-nya menghabiskan malam dengan menjemput fajar.

Kampus merupakan tempat menemukan 'hidup baru' mengenal dan bergaul dengan berbagai jenis manusia-mengecap sedikit arti kehidupan yang kata para sepuh pahit pahit manis itu-apa yang dikecap dan pengalaman mengecapnya akan berbeda dari tempat MABA 'mahasiswa baru' memilih untuk tinggal entah di rumah sendiri atau indekost yang umumnya ditempati oleh pendatang dari luar kota di mana kampus berada.

Dunia kampus. Bukan seputar diktat yang jarang diperbaharui, gaji dosen yang tak seberapa, bea regis yang mencekik, ruang kuliah yang penuh contekan menjelang ujian dan perpustakaan-jarang dikunjungi, buku bukunya jadi rebutan makananan rayap atau koleksi yang sulit diperbaharui karena tidak ada penganggaran dan bantuan alumni.

Dunia kampus adalah siklus kehidupan yang terdiri atas: ruang kuliah, perpustakaan, isu sosial aktual yang wajib ada keterlibatan dan keberpihakan sekelompok masyarakat yang digelari agen perubahan dan masyarakat ilmiah, jalanan tempat pertarungan idealisme, ranjang indekost tempat uji coba menjadi 'bapa mama' hingga berbuah aborsi dan kumpul kebo, absensi yang menumpuk hingga wajib program ulang, kiriman yang sering telat datang, atau perjuangan menghidupi diri sendiri dari beasiswa sampai cinta personal yang haru biru galau. Aktornya: dosen, mahasiswi/a dan masyarakat.

Meletis Makna Dunia Kampus
Sebagai pusat gagasan dan peradaban, kampus berperan dalam menjamin keberlangsungan hidup suatu kelompok masyarakat atau yang dalam konteks kini disebut negara bangsa. Rasionalitas ide dalam ruang diskursus, pengujian ide dan konsep yang bebas dari represi dengan tema apa pun (meski kampus sering diganyang ketika mendiskusikan ide yang dianggap 'kiri' oleh mereka yang mungkin bahkan tidak tahu apa itu 'kiri'), kemampuan untuk menerjemahkan terori yang bersifat praksis hingga keterlibatan pada yang lemah, papah dan ringkih adalah misi utama keberadaan kampus di dunia. Dengan demikian maka genaplah nas perguruan tinggi yang mewujud dalam: pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan serta pengabdian masyarakat.

Ide dan gagasan yang lahir harus mampu menembus sekat ruang kuliah dan pagar kampus hingga mampu 'berbunyi' di tengah pasar atau kenyataan keseharian. Tanpa itu, dunia kampus dan yang bergelut di dalamnya hanya sekelompok komparador yang mampu meniru dan menghisap tapi tidak mampu memberi arti dengan keberadaannya di tengah masyarakat. Tidak heran setelah ritus wisuda yang melelahkan dan pesta meriah dalam beberapa jam, beberapa minggu kemudian alumni kampus dengan giatnya menggotong lelembaran ijazah, beberapa sertifikat hasil mengikuti seminar dan pelatihan dengan pakaian hitam putih berjalan dari satu tempat kerja ke tempat lainnya menawarkan diri mencari pekerjaan. Miris dan sedih bukan?

Dunia kampus wajib melahirkan pribadi yang mampu berdaya dan mencipta peluang ketika bergulat dengan kenyataan riil. Mencipta kerja bukan sekadar mencari kerja. Produk kampus sejatinya mampu mencipta kehidupan baru berbekal ilmu dan praksis yang telah digelutinya. Bila produk kampus hanya mampu menciptakan penghambaan di atas penghambaan demi sesuap nasi apalah artinya agen perubahan itu? Bukankah dengan demikian kampus hanya menciptakan barisan panjang penderitaan sebagai masalah purba yang telah diulas dalam berbagai teori, dicari akar masalahnya hingga diujicobakan pendekatan yang memadai untuk menguranginya?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun