Mohon tunggu...
Ardy Firmansyah
Ardy Firmansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Mencari candu yang baru | Surat-surat Nihilisme

Lagi belajar nulis di Kompasiana~

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

HRS, FPI dan Matinya Demokrasi

11 Desember 2020   11:20 Diperbarui: 11 Desember 2020   14:53 1925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Habib Rizieq dan FPI ancaman Demokrasi? Sumber Kompas.com AFP/ADITYA SAPUTRA

Jika melihat sejumlah pertanyaan ini lalu mencocokannya dengan apa yang sudah dilakukan HRS dan FPI, dan lebih banyak jawaban "Ya" daripada "Tidak" maka mereka cukup mengkhawatirkan dalam demokrasi di Indonesia.

Dalam buku "Bagaimana Demokrasi Mati" Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, mengatakan bahwa dalam menyaring kaum otoriter (ekstrimis juga menurut saya ) tanggung jawab tersebut terletak pada partai politik dan pemimpin partai: penjaga pintu demokrasi.

Namun jika melihat dalam konteks kasus HRS, FPI dan juga aparat kepolisian. Apakah kepolisian melakukan ini semua demi menjaga demokrasi yang ideal dan menghilangkan kaum ekstrimis agar tidak terlibat lagi dalam gerakan politik di masa depan?

Kalau dalam kasus ini, berarti kepolisian mengambil alih tanggung jawab partai politik dalam menumpas ektsrimis agar tidak masuk kedalam ranah politik seperti pemilihan umum? apakah itu tindakan yang benar atau tidak? Mengingat HRS dan FPI adalah tokoh masyarakat dan organisasi dengan pengikut yang banyak? Saya tidak tau pasti.

Meski kita tahu jejak HRS bersama dengan FPInya memang kontroversial dan bermasalah. Lihat saja, jika HRS sudah sejak awal menaati hukum, tidak kabur ke Arab Saudi dan menerima panggilan polisi sejak awal, mungkin kasus penembakan enam anggota laskar FPI tidak akan terjadi.

Apa Solusi untuk Menjaga Demokrasi?

Ketika saya membaca buku "Bagaimana Demokrasi Mati" dan melihat kasus HRS dan FPI, saya merasa ada relevansinya. Mereka dinilai ekstrem dan radikal, jika melihat Pilgub 2017 dengan narasi populisme dan politik identitas. Organisasi FPI dirasa bisa merusak keutuhan demokrasi Indonesia, yang nanti bisa memecah belah dan mengadu domba.

Jika melihat solusi yang ditawarkan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, meski subjeknya adalah partai politik, tapi patut dipertimbangkan, untuk mencegah matinya demokrasi dan perpecahan di Indonesia.

"Partai-partai arus utama harus mengisolasi dan mengalahkan kekuatan-kekuatan ekstrimis... membasmi ekstremis di tingkat akar rumputnya..... partai-partai prodemokrasi bisa menghindari segala persekutuan dengan partai dan calon antidemokrasi... partai demokrasi kadang tergoda bersekutu dengan ekstrimis di ujung kisaran ideologi demi suara... bertindak sistematis untuk mengisolasi ekstrimis, bukan memberi legitimasi... terakhir, sewaktu ekstremis bangkit sebagai kandidat serius pemilu, partai-partai arus utama mesti membentuk persekutuan mengalahkan mereka..." (Halaman 13-14)

Mungkin saya terlalu jauh membahasnya apalagi menyangkut pautkan ini dengan konteks HRS dan FPI. Tapi bisa saja mereka memang ekstrimis? Saya hanya berasumsi, tidak tahu realitasnya. Apakah FPI punya potensi untuk membuat Indonesia terpecah belah dan kembali melakukan politik identitas? Saya juga tidak tahu di masa depan seperti apa.

Mungkin ada pihak di Indonesia yang tahu tentang gejala ini dan berusaha menyelesaikannya dengan baik. Tapi apakah pihak ini melakukan tindakan yang tepat?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun