Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hidup di Antara 'Tumbak Cucukan'

4 Maret 2021   08:23 Diperbarui: 4 Maret 2021   08:29 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Teringat ketika saya menempuh pendidikan sekolah dasar (SD) di sebuah kabupaten di Jawa Timur, akan pelajaran pepatah atau peribahasa Jawa (Jowo). Di kumpulan peribahasa yang saya beli di salah satu toko buku, terdapat puluhan peribahasa yang penuh makna berisi tentang nasihat kehidupan. Peribahasa yang ada mengingatkan kita agar bagaimana menjalani kehidupan yang tepo sliro, tenggang rasa, menghormati yang lain, dan menciptakan kehidupan yang harmoni menjauhkan rasa sombong, iri, dan dengki.

Salah satu yang saya kenang bahkan yang lain juga mengenangnya, adalah peribahasa agar kita jangan menjadi tumbak cucukan. Tumbak cucukan adalah sosok orang yang suka ngrumpi, ngobrol, atau berbincang dengan orang lain, baik berdua atau bergerombol namun sikapnya negatif. Akibatnya, rasa dari obrolan itu bila kena yang lain terasa sakit seperti terkena tombak yang ujungnya runcing dan tajam.

Hasil obrolan yang di masyarakat lebih banyak dibumbui rasa-rasan (menggunjing kejelekan orang), oleh orang yang mempunyai sikap tumbak cucukan dikabarkan atau dilaporkan kepada orang lain bahkan orang yang di-rasa-rasani. Hal demikian membuat orang yang di-rasani, keburukan atau aibnya menyebar ke tengah masyarakat. Masyarakat yang terpancing pun akhirnya ikut-ikut merendahkannya. Bila yang di-rasani mendengar kabar langsung dari si tumbak cucukan, pastinya ia akan marah dan bila berani akan melabrak kepada mereka yang telah menggunjing bahkan memfitnahnya.

Akibat dari si tumbak cucukan itulah suasana yang ada di kampung, RT, lingkungan kantor bahkan lingkup nasional akan menjadi tegang, panas, dan timbul rasa dendam untuk saling membalas.

Meski peribahasa dari tumbak cucukan sudah ditemukan puluhan tahun yang lalu namun sikap yang demikian tidak hilang bahkan menjadi-jadi setelah adanya media sosial dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sifat tumbak cucukan bisa jadi seiring adanya manusia di muka bumi. Bahkan saat ini perilaku tumbak cucukan tidak hanya diam-diam, rasan-rasan, namun sudah dilakukan secara terbuka, di media sosial, media resmi seperti koran, majalah, televisi, radio, dan media online.

Adanya tumbak cucukan membuat suasana kehidupan di masyarakat selalu dirundung dengan kegaduhan. Rasa sakit hati karena dijelek-jelekan, difitnah, dan di-bully, menimbulkan rasa balas dendam dan menciptakan tumbak cucukan-tumbakan cucukan baru. Keterbukaan politik dan rasa ingin menang sendiri yang sekarang lebih dikedepankan membuat saat ini kita hidup berada di antara tumbak cucukan-tumbakan cucukan yang ada. Dulu bisa jadi orang yang menjadi tumbukan cucukan dikatakan orang dari kalangan pendidikan rendah atau tidak bersekolah tinggi namun saat ini kasta tumbukan cucukan naik peringkatnya. Kalangan akademisi kampus bahkan sampai professor pun ada yang menjadi tumbak cucukan.

Lalu apa yang membuat orang menjadi tumbak cucukan? Di sini ada beberapa hal yang membuat orang menjadi sosok yang demikian. Pertama, ia adalah pengangguran. Kalau kita amati di lingkungan kita, dari kampung hingga kota, ada orang setiap hari kegiatan hanya berkerumun untuk ngobrol (jagongan). 

Dari pagi, siang, sore bahkan sampai tengah malam, di tempat-tempat seperti gardu pos kamling, warung kopi, angkringan, mereka ngobrol ngalor-ngidul. Suasana obrolan akan lebih nikmat bila dibarengi dengan ngopi dan ngrokok. Di kampung-kampung di warung kopi atau angkringan dengan harga kopi secangkir yang hanya Rp1.500,00, membuat mereka betah ngobrol berjam-jam. Hanya mengeluarkan uang Rp1.500,00 bahkan ngutang setelah itu mereka tidak peduli pada pemilik warung. Mereka sudah menyita ruang warung dan tempat duduk di angkringan selama berjam-jam yang kehadirannya sebenarnya bisa mengganggu calon pembeli lainnya.

Mereka pastinya tidak mempunyai pekerjaan atau pengangguran sebab mereka di warung kopi, angkringan, atau di tempat-tempat pertemuan lainnya, duduk berjam-jam hanya untuk ngobrol ditambah rasan-rasan. Yang diobrolkan bila di kampung atau daerah bisa mulai dari tetangga, kawan, lurah, camat, bahkan sampai bupati. Hasil obrolan yang jelek-jelek oleh si tumbak cucukan akan disebarkan ke mana-mana, kepada orang lain maupun lewat media sosial.

Dari banyaknya kumpulan obrolan di berbagai tempat dan pastinya ada tumbak cucukan membuat produksi berita negatif terus mengalir setiap hari dan saat. Akibatnya kegaduhan, ketegangan, dan suasana panas selalu tercipta mulai dari lingkungan terkecil hingga lingkup nasional.

Kedua, untuk mencari keuntungan ekonomi. Menjadi tumbak cucukan rupanya saat ini bisa menghasilkan keuntungan. Tidak hanya orang yang mempunyai ribuan hingga jutaan follower di instagram, twitter, atau media sosial lainnya bisa mendapat keuntungan dari mengiklankan suatu produk. Orang yang menjadi tumbak cucukan, dengan menjelek-jelekan orang lain, memfitnah, dan membuka aibnya, ia bisa dibayar oleh pihak-pihak lain (buzzer). Sistem yang didapat dari produksi berita buruk dari buzzer adalah bila semakin banyak merangkai kata di media sosial maka penghasilan yang didapat akan semakin tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun