Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jadi Oposisi, Maju Kena Mundur Kena

9 Mei 2019   11:52 Diperbarui: 9 Mei 2019   11:58 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di tengah waktu menunggu hasil resmi penghitungan suara Komisi Pemilu Umum (KPU) dalam menentukan siapa pemenang Pemilu Presiden 2019, muncul isu fisi (pembelahan) pada Koalisi 02. Dari koalisi yang dibangun, yakni Partai Gerindra, PAN, PKS, dan Partai Demokrat, disebut PAN dan Partai Demokrat hendak meninggalkan koalisi yang mengusung Capres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dan segera merapat ke kubu Koalisi 01. Meski ada bantahan dari elit kedua partai tersebut namun tanda-tanda mereka melakukan seperti itu ada faktanya.

PAN dan Partai Demokrat hendak berfusi (bergabung) dengan Koalisi 01, bisa jadi ada pertimbangan bahwa kubu 01-lah pemenang dari Pemilu Presiden tahun ini. Sehingga mereka rela meninggalkan kebersamaan yang telah dijalin hampir Sembilan bulan itu. Pastinya PAN dan Partai Demokrat mempunyai pertimbangan mengapa mereka memilih pindah haluan ketimbang tetap bercokol dengan Partai Gerindra dan PKS.

Sebagai partai yang lolos ke Senayan, Jakarta, berdasarkan situng KPU, PAN dan Partai Demokrat di satu sisi mempunyai daya tawar dengan pemerintah namun di sisi yang lain, bila membentuk block di DPR, daya tawar yang mereka miliki kalah suara dengan Koalisi 01 yang terdiri dari PDIP, Partai Golkar, PPP, Partai Nasdem, dan PKB. Dengan demikian, bila mengambil keputusan dalam bentuk voting, sepertinya Koalisi 02 akan selalu kalah dengan Koalisi 01. Kondisi yang demikian bisa jadi membuat koalisi 02 akan selalu 'menderita' selama lima tahun ke depan.

Bagi PAN dan Partai Demokrat mungkin ada anggapan, terkadang dalam politik itu harus bersikap realistis dan pragmatis. Bila ada peluang mendapat kekuasaan mengapa hal demikian tidak diambil. Bila ditawari mengapa tidak diterima daripada bergabung di tempat yang lama namun tidak mendapat apa-apa. Dari sinilah partai politik dan politisi akan seperti air mengalir, mencari tempat dirinya mendapat wadah terakhri.

Bersikap pragmatis dan realitis bukan saja faktor membuat partai politik berubah dukungan. Ada faktor lain yang menyebabkan partai politik itu banting steer, faktor itu yakni di Indonesa tidak enak menjadi oposisi. Sebenarnya menjadi oposisi adalah pekerjaan yang mulia, menjadi penyeimbang pihak penguasa sehingga kubu oposisi yang paling lantang bersuara sehingga mendapat simpati dan empati rakyat. Namun posisi oposisi di Indonesia tidak seperti dalam teks-teks demokrasi, yang gagah dan mendapat dukungan rakyat. Kubu oposisi yang ada di Indonesia selama ini kondisinya sangat mengenaskan sehingga partai politik enggan menjadi oposisi.

Ada beberapa faktor yang membuat partai politik di Indonesia enggan memerankan diri sebagai oposisi. Pertama, tidak didukung oleh pemerintah. Selepas Pemilu 2014, sebenarnya partai politik yang mengusung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sangat kuat dan solid. Himpunan partai politik yang terdiri dari Partai Gerindra, PAN, PPP, Demokrat, PKS, dan Partai Golkar, itu memenangi pemilihan pimpinan MPR dan DPR.

Solidnya koalisi ini membuat pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla ketar-ketir menghadapinya. Bila DPR sudah mereka kuasai, tentu akan mempersulit bagi pemerintah untuk membuat kebijakan. Nah, ketika konflik internal muncul, entah karena alami atau settingan, pemerintah mulai ikut campur tangan dalam konflik itu. Caranya memberi legalitas hukum kepada salah satu pihak yang dirasa bisa diajak kerja sama dan mau bergabung dengan koalisi pro pemerintah. Pihak yang berkonflik pun berusaha untuk mendekati kekuasaan. Akibatnya di antara mereka melakukan kesepakatan dengan pemerintah. Kesepakatan itu memunculkan ketua baru partai politik yang memiliki legalitas hukum namun ia mengubah posisinya partai politiknya dari oposisi menjadi pro pemerintah.

Dari ikut campurnya pemerintah dalam konflik internal di tubuh partai, membuat Partai Golkar dan PPP yang sebelumnya berada dalam kubu oposisi, membelot mendukung pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Akhirnya kekuatan kubu oposisi yang sebelumnya kuat dan perkasa menjadi lemah.

Kedua, dikriminalisasi. Bila dikatakan politik itu menghalalkan segala cara itu memang iya dan benar adanya. Ketika kekuatan-kekuatan politik yang ada di luar kekuasaan tidak mau diajak bergabung, mereka akan dicari kesalahannya. Kesalahan satu titik akan dibesar-besarkan seolah-olah kasus hukumnya berat sehingga mampu menjerat dan menyeret dirinya ke dalam penjara. Ancaman ini tentu membuat keder bagi politisi yang memang punya masalah hukum. Akibatnya banyak politisi yang berada di luar kekuasaan, oposisi, ramai-ramai bergabung ke dalam partai politik yang pro pemerintah agar selamat dari jerat hukum.

Ketiga, mencari sumber pendanaan. Tidak hanya legalitas hukum dan ancaman kriminalisasi yang membuat partai politik dan politisi mau bergabung dengan kekuasaan. Mereka mau bergabung dengan kekuasaan juga didasari bahwa dengan cara inilah mereka bisa mendapat pendanaan partai politik. Sebagaimana kita ketahui, menteri-menteri dari latar belakang politik, merekalah yang mencari dana-dana yang berputar di kementeriannya untuk dihibahkan atau disumbangkan kepada partai politiknya atau organisasi massa pem-back up partai politik. Tak heran bila partai politik pendukung kekuasaan, mereka berebut kursi menteri, tidak hanya satu tapi ada yang meminta sepuluh kursi. Logikanya semakin banyak kursi menteri yang didapat, maka keuangan partai politik akan semakin gemuk. Dari uang-uang itulah partai politik bisa menjalankan aktivitasnya selama 5 tahun.

Keempat, sebagai ajang pencitraan politisi. Bergabung dengan kekuasaan, tak hanya dana didapat. Dalam lingkup ini seseorang politisi bisa membangun citra diri. Mereka yang bergabung dalam kekuasaan, bisa menggunakan jaring-jaring kekuasaan, lewat kementerian atau lembaga negara lainnya. Sebagai seorang menteri atau ketua lembaga negara, ia bisa bertemu dengan masyarakat hingga pelosok dusun, menyampaikan gagasannya, dan diliput oleh media. Dari sinilah akan terbangun citra dirinya untuk kepentingan Pemilu selanjutnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun