Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Golkar Bersih, Golkar Kembali Berjaya

2 Januari 2018   10:42 Diperbarui: 2 Januari 2018   10:49 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada harapan baru bagi Partai Golkar setelah dirinya melakukan Musyawarah Nasional Luar Biasa pada bulan Desember 2017. Dalam munas tersebut akhirnya pengurus partai berlambang pohon beringin itu memilih kadernya, Airlangga Hartarto, sebagai Ketua Umum Partai Golkar menggantikan Setya Novanto. Setya diganti karena terkena kasus rasuah E-KTP.

Harapan dari pengurus, simpatisan, dan pendukung Partai Golkar kepada Airlangga Hartarto tentunya membawa partai itu menjadi lebih baik agar dalam Pilkada 2018, Pileg dan Pilpres 2019 menjadi juara. Harapan yang demikian tentu diiyakan Airlangga Hartarto. Sebagai nahkoda baru, tentu dirinya berjanji akan melajukan partai lepas dari bayang-bayang Setya Novanto yang penuh dengan drama dan cerita yang tak sedap.

Untuk itu dirinya mempunyai komitmen membawa Golkar ke depan dengan tekad 'Golkar Bersih'. Tekad ini digaungkan sebagai keinginan agar Golkar bersih dari segala bentuk kegiatan dan tindakan hal-hal yang berbau korupsi. Korupsi yang dilakukan oleh kadernya dianggap sebagai biang anjloknya reputasi Golkar. Untuk itu Airlangga Hartarto bersih-bersih rumah baik di dalam maupun di luar.

Di dalam, disebut Airlangga Hartarto akan membersihkan jajaran pengurusnya dari sosok-sosok yang terindikasi melakukan tindakan korupsi. Sedang di luar Golkar akan ikut dan mendorong aktivitas-aktivitas anti korupsi, seperti menolak pelemahan KPK dan menginginkan agar Polri, Kejaksaan, serta KPK bersinergi dalam pemberantasan korupsi secara adil dan tak tebang pilih.

Bila langkah yang jadikan komitmen tersebut benar-benar dilakukan maka ada beberapa tokoh senior di partai itu, yang selevel dengan Airlangga Hartarto, akan terdepak dari susunan kepengurusan partai sebab tokoh-tokoh itu sering disebut dalam berbagai kasus korupsi yang sudah diperkarakan oleh KPK.

Langkah yang dilakukan oleh Airlangga Hartarto untuk mengembalikan marwah Golkar, seharusnya tidak cukup dengan membebaskan pengurus dari sosok-sosok koruptif serta melabelkan diri sebagai partai anti korupsi namun juga harus mengembalikan partai ini seperti pada masa kejayaannya (Orde Baru).

Ada beberapa hal yang menyebabkan partai yang terbilang besar ini belum kembali kepada masa kejayaannya. Faktor tersebut adalah, pertama, adanya kader-kader yang tidak loyal kepada keputusan partai. Tidak loyalnya kader-kader kepada keputusan partai inilah yang membuat Golkar selalu mengalami problem internal yang menahun dan menguras tenaga.

Contohnya, menjelang Pilpres 2014, Golkar menyepakati ketua umumnya, Aburizal Bakrie, sebagai calon capres atau cawapres. Keputusan tersebut tentu dilandasi akal politik yang sehat bahwa partai ini sebagai partai yang besar sehingga wajar kalau hendak mau menjadi lokomotif kekuasaan. Ketika keputusan tersebut sudah disahkan maka wajib bagi seluruh kader untuk menaati. Namun anehnya, keputusan tersebut ada kader-kader yang menolak dengan terang-terangan bahkan dengan bangga mendukung capres dari partai lain.

Menolak keputusan partai adalah sikap yang gila. Demokrasi tidak bisa diterjemahkan secara liar demi meraih kepentingan pribadi. Sebagai bagian dari partai, seluruh kader wajib untuk patuh kepada keputusan yang ada. Komitmen yang demikian biasa dipegang oleh kader-kader partai modern yang ada di negara maju.

Kader-kader seperti inilah yang juga harus dibersihkan oleh Airlangga Hartarto. Di Golkar memang banyak kader yang bersih, idealis, dan muda namun di antara mereka banyak yang berwatak oportunis atau mencari keuntungan pribadi. Mereka saat-saat ini sepertinya loyal kepada kepengurusan namun menjelang Pilpres ketika ada indikasi sosok dari luar partai yang mempunyai potensi menang, sosok-sosok seperti itu akan menunjukan karakternya yang haus kekuasaan. Airlangga Hartarto harus waspada menghadapi kader-kader seperti itu. Jauh-jauh hari, sebaiknya mereka dibersihkan.

Kedua, sebagai partai yang besar, selama ini Golkar hanya lebih sebagai supporting atau pendukung kekuasaan. Posisi yang demikian diambil karena ada sikap dari pengurus yang pragmatis. Mereka lebih memilih 'menjual' Golkar kepada pemenang Pilpres dengan tujuan untuk mendapat jabatan menteri atau posisi strategis lainnya. Tak ada idealisme membuat Golkar tak pernah menjadi pemenang. Golkar selepas era reformasi tak pernah mengambil jalan sebagai oposisi. Tak pernah mau mengambil resiko bila di luar kekuasaan. Sebenarnya Golkar semasa di bawah pimpinan Aburizal Bakrie menjadikan dirinya sebagai kekuatan oposisi namun kepengurusan yang ada dilawan oleh kelompok-kelompok pragmatis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun