Adanya pandemi Covid-19 membawa perubahan pada perilaku konsumen. Perilaku konsumen merupakan kegiatan yang sering kita lakukan terutama berkaitan dengan pencarian informasi mengenai barang dan jasa.
Dilansir dari Kompas.com, Kamis (1/04/2021) Studi Visa menemukan, terjadinya peningkatan minat masyarakat untuk berbelanja online dan berbelanja produk-produk lokal.
Studi mengemukakan, 1 dari 2 konsumen Indonesia menganggap belanja online lebih murah dan aman dibanding harus berbelanja di toko saat pandemi khususnya di masa new normal.
Dalam perspektif Islam berbisnis online diperbolehkan selagi tidak terdapat unsur riba, kezaliman, monopoli dan penipuan.
Dilansir dari Nadariau.com, Rasulullah S.A.W mengisyaratkan bahwa jual beli itu halal selagi suka sama suka (Antaradhin). Karena jual beli online memiliki dampak positif karena dianggap praktis, cepat dan mudah .
Adapun syarat-syarat mendasar diperbolehkannya jual beli online diantaranya :
1. Tidak melanggar ketentuan syariat agama, seperti transaksi bisnis maupun usaha yang diharamkan, terjadinya kecurangan, penipuan, dan monopoli .
2. Adanya kesepakatan perjanjian diantara kedua belah pihak (penjual dan pembeli) jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan antara sepakat (Alimdha’) atau pembatalan (Fasakh).
3. Adanya kontrol, sanksi dan aturan hukum yang tegas dan jelas dari pemerintah (lembaga yang berkompeten) untuk menjamin bolehnya berbisnis yang dilakukan transaksinya melalui online bagi masyarakat.
Kesimpulannya adalah hukum belanja online dalam Islam itu diperbolekan. Sehingga kita sebagai penjual maupun konsumen harus menjaga hukum halal-haram dalam berbelanja online, mengingat Islam mengharamkan hasil perniagaan barang atau layanan jasa yang haram, sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits :
“Sesungguhnya bila Allah telah mengharamkan atau suatu kaum untuk memakan sesuatu, pasti Ia mengharamkan pula hasil penjualannya.” (HR. Ahmad, dan lainnya).