Bayangkan suatu pagi kita bangun dan mendengar pengumuman resmi dari pemimpin negara: "Mulai hari ini, darurat militer diberlakukan di seluruh wilayah." Kata-kata ini tentu akan membuat sebagian orang merasa cemas, sebagian lainnya mungkin merasa aman. Namun pertanyaan besar muncul: apa jadinya sebuah negara setelah keputusan itu diambil?
Apa Itu Darurat Militer?
Darurat militer adalah keadaan ketika militer mengambil alih sebagian atau seluruh fungsi pemerintahan sipil untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Kondisi ini biasanya diputuskan saat negara menghadapi ancaman serius, misalnya kudeta, perang, kerusuhan besar, atau bencana politik.
Dalam konteks hukum internasional, darurat militer sering dianggap sebagai "langkah terakhir" ketika semua upaya sipil gagal menjaga stabilitas.
Menurut Human Rights Watch (2022), pemberlakuan darurat militer berisiko membatasi hak-hak sipil warga negara, seperti kebebasan berpendapat, berkumpul, dan bergerak. Namun di sisi lain, pemerintah yang mengeluarkan kebijakan ini biasanya beralasan demi menyelamatkan negara dari ancaman yang lebih besar.
Dampak Langsung: Kontrol Ketat
Begitu darurat militer diumumkan, efek paling cepat terasa adalah perubahan drastis dalam kehidupan sehari-hari.
Jam malam diberlakukan. Warga hanya bisa beraktivitas pada jam tertentu.
Media massa dan media sosial bisa diawasi atau disensor untuk mencegah penyebaran informasi yang dianggap berbahaya.
Aparat militer memiliki wewenang lebih besar dibanding polisi sipil, bahkan bisa melakukan penangkapan tanpa proses pengadilan normal.
Di Filipina, misalnya, Presiden Ferdinand Marcos pernah memberlakukan darurat militer pada 1972 dengan alasan melawan ancaman komunis. Namun dalam praktiknya, hal itu dipakai untuk memperpanjang kekuasaannya hingga 20 tahun. Jutaan orang kehilangan hak politik, ribuan aktivis ditangkap, dan media dibungkam. Negara memang stabil secara permukaan, tapi warganya hidup dalam ketakutan.