Mohon tunggu...
Ardhito N.
Ardhito N. Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Urban & Regional Planning - Sepuluh Nopember Institute of Technology

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Dampak Penerimaan Siswa Berbasis Rayon terhadap Mobilitas Penduduk

25 Desember 2015   09:34 Diperbarui: 26 Desember 2015   09:24 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan merupakan aspek dasar dalam kependudukan. Melalui pendidikan yang optimal, pembangunan sumber daya manusia dapat berjalan secara optimal. Namun, dalam mewujudkan sistem pendidikan yang optimal itu, kita seringkali dihadapkan oleh isu-isu terkait dengan pendidikan itu sendiri, seperti ketimpangan sistem pendidikan, dan salah satunya adalah sistem penerimaan peserta didik baru.

Masih segar di ingatan kita tentang kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menyelenggarakan penerimaan peserta didik baru yang berbasis zona wilayah atau rayon. Artinya, setiap pendaftar peserta didik baru mendapat jatah untuk memasuki sekolah yang ada dalam wilayah dimana pendaftar tersebut tinggal dan memasuki sekolah yang berada di luar wilayah si pendaftar tersebut. Sebagai contoh, jika anda atau anak anda tinggal di Kebayoran dan ingin mendaftar di suatu SMP atau SMA, maka anda dapat memilih dua sekolah; satu di daerah luar (tergantung dari pilihan anda/anak anda) atau sekolah yang berada dalam wilayah Kebayoran. Sistem zonasi ini semua pendaftaran terhubung dengan sistem dalam jaringan (daring) yang akan didata oleh Disdik DKI. Sistem zonasi ini dibagi menjadi tiga tingkatan sesuai dengan jenjang pendidikan. Untuk SD cakupannya kelurahan, SMP luasannya se-Kelurahan, sedangkan SMA wilayahnya adalah rayon. terdiri dari dua atau tiga kecamatan. Dalam penuturannya mengenai sistem rayon ini, Kepala Dinas Pendidikan Pemprov DKI Jakarta, Taufik menjelaskan, “Tujuannya menata persebaran sekolah. Hal ini dilakukan agar penerimaan lebih terbuka dan objektif,” tutur Taufik (8/6/2013).

Dalam implementasinya, kebijakan ini tidak lekang dari dampak positif dan negatif yang ditimbulkannya. Padahal, tujuan diberlakukannya kebijakan ini ialah agar tidak terjadi kesenjangan sosial antara anak orang kaya dan anak orang miskin, dan untuk mencegah adanya perbedaan kelas antara siswa yang pintar dan siswa yang tergolong pendidikannya dibawah rata-rata. Selain itu, kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi kemacetan. Seperti yang kita tahu, kemacetan di DKI Jakarta disebabkan oleh penduduk yang berpergian untuk bekerja. Tidak hanya untuk bekerja, jumlah penglaju jalanan di Jakarta yang bertujuan untuk bersekolah dan kursus (les bahasa inggris, bimbel, dsb.) juga tidak sedikit.

Lalu, kita asumsikan bahwa kebijakan itu dijalankan. Apakah sistem ini efektif dalam membantu menjalankan sistem pendidikan yang mumpuni dan untuk mewujudkan tujuan-tujuan diatas?

Berdasarkan data yang dihimpun dari BPS Provinsi DKI Jakarta, jumlah sekolah menengah pertama tahun ajaran 2013/2014 di DKI Jakarta adalah sebanyak 326 sekolah. Pada tahun ajaran yang sama, jumlah sekolah menengah atas di DKI Jakarta adalah sebanyak 473 sekolah. Sementara itu, jumlah penglaju DKI Jakarta yang bertujuan untuk sekolah adalah sebanyak 186.080 jiwa (2014). Itu adalah 14,28% dari jumlah total penglaju DKI Jakarta yang berjumlah 1.114.088 jiwa. Lalu, persentase jumlah komuter yang bertujuan untuk sekolah dari luar DKI Jakarta menunjukkan angka yang lebih tinggi, yaitu sebesar 467.887 orang. Itu berarti, siswa dari luar DKI Jakarta yang bersekolah di Jakarta sangat banyak. Lalu apa hubungannya dengan mobilitas penduduk? Jika ditelaah lebih dalam, siswa baru lebih cenderung untuk mendaftar di sekolah favoritnya, entah letaknya jauh dari tempat tinggalnya atau dekat. Dan itu berdampak pada komutasi penduduk Jakarta dan Bodetabek. Seperti yang kita tahu, penglaju dari Bodetabek yang bertujuan untuk sekolah di Jakarta menyumbang sebesar 20,68% dari 1.793.844 penduduk komuter dari Bodetabek seluruhnya. Namun, jika kebijakan rayonisasi ini diterapkan, apakah bisa menahan laju pertumbuhan komutasi penduduk DKI Jakarta dan sekitarnya?

Dalam ketentuan mengenai sistem rayonisasi penerimaan siswa baru, Kepala Disdik Pemprov DKI Jakarta, Taufik menjelaskan bahwa setiap sekolah wajib mengalokasikan kuota 45 persen untuk sistem zonasi ini. Sebagai contoh, sekolah yang berada di kecamatan wajib memberikan 45% dari total bangku sekolah tersebut untuk pendaftar baru yang berdomisili di kecamatan tersebut. Hal ini menyebabkan sekolah tersebut tidak terisi hanya oleh siswa yang berasal dari zona atau rayon yang sudah ditentukan, namun calon siswa yang ingin mendaftar di sekolah tersebut juga mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan di sekolah itu, tidak melihat apakah dia kaya atau miskin. Dalam keterkaitannya dengan mobilitas penduduk, hal ini sangat mempengaruhi perpindahan penduduk dari dalam DKI Jakarta maupun dari Bodetabek dan sekitarnya. Karena sebagian besar siswa yang bersekolah di luar wilayahnya menggunakan kendaraan pribadi untuk menuju ke sekolahnya masing-masing, maka dengan kebijakan ini akan membuat angka penglaju Bodetabek yang bertujuan untuk sekolah dan kursus di Jakarta seperti yang telah disebutkan diatas bisa ditekan. Berarti bukan tidak mungkin kebijakan ini dapat mengurangi kemacetan di DKI Jakarta dan sekitarnya.

Apakah kebijakan ini dapat mewujudkan tujuan-tujuan yang sudah disebutkan diatas? Belum tentu. Masih banyak pekerjaan rumah baik bagi Pemprov DKI Jakarta maupun Dinas Pendidikan DKI Jakarta untuk menjamin bahwa implementasi dari kebijakan ini akan sukses besar. Contohnya? Jika melihat dari kecenderungan calon siswa baru untuk mendaftar di sekolah yang jauh dari rumahnya, maka kebijakan tersebut tidak dapat diterapkan dengan cara yang konvensional. Dan pada akhirnya, keterserapan calon siswa baru yang bertempat tinggal di suatu wilayah tidak akan mencapai angka 45%, karena dengan status “SMP/SMA Favorit” itu akan mengundang banyak pendaftar untuk masuk ke sekolah tersebut.

Semuanya bergantung kepada peran Pemerintah dan Disdik Pemprov DKI Jakarta untuk membuat standar dalam mengoperasikan sekolah-sekolah di DKI Jakarta. Dengan kata lain, pekerjaan rumah Disdik DKI Jakarta adalah menyamaratakan kualitas dan kuantitas semua sekolah di DKI Jakarta, seperti fasilitas yang lengkap dan kualitas tenaga pengajar yang kompeten, sehingga output yang dihasilkan dari pendidikan tersebut adalah individu-individu yang cerdas dan dapat bersaing di dunia luar. Sementara itu, peran Pemprov DKI Jakarta adalah menyediakan transportasi umum yang aman, murah, dan cepat agar dapat mengakomodasi siswa yang berpergian menuju sekolahnya masing-masing. Contohnya seperti fasilitas bus sekolah yang diluncurkan oleh Pemerintah Kota Bandung beberapa waktu yang lalu. Namun, jika bus sekolah ini dioperasikan secara maksimal, bus sekolah ini dapat merubah budaya masyarakat khususnya yang bersekolah menggunakan kendaraan pribadi untuk beralih menggunakan bus sekolah dan tentunya tujuan untuk mengurangi kemacetan di DKI Jakarta akan terwujud.

 

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun