Tulisan ini terinspirasi oleh cerita teman saya, dimana ia berprofesi sebagai guru bimbingan konseling di salah satu sekolah di kota ini. Singkat cerita, salah satu siswa di tempat ia bekerja terdapat melakukan pelanggaran sekolah.Â
Setelah beberapa kali anak itu melakukan pelanggaran, akhirnya ia harus mengeluarkan surat panggilan orangtua untuk anak tersebut. Namun orangtuanya tak kunjung datang hingga hari yang ditentukan.
Iapun menghubungi ibunya melalui telepon, namun jawabannya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Ibunya meminta agar ia menghubungi ayahnya untuk proses selanjutnya. Setelah tersambung, malah ayahnya mengatakan hal yang sama. Yaitu meminta agar ia membicarakannya pada ibunya saja.
Usaha untuk menyelesaikan persoalan sang anakpun berujung kecewa. Usut punya usut, ternyata siswa tersebut adalah korban broken home. Ayah dan ibunya sudah bercerai.Â
Setelah menyadari hal itu, iapun bersikap maklum akan kondisi siswa tersebut. Kesalahan tidak sepenuhnya ada pada sang anak. Ia hanya kurang menerima didikan yang cukup dari keluarganya.
Saya jadi penasaran ingin tahu bagaimana sebenarnya yang terjadi pada anak korban "broken home". Apakah kondisi tersebut mempengaruhinya dalam berperilaku?
Broken home adalah putusnya struktur keluarga disebabkan anggota keluarga gagal berperan sebagaimana mestinya. Bisa jadi karena perceraian, pergi dari rumah atau tidak menunjukkan kasih sayang dalam keluarga.
Mengutip dari laman winnetnews.com, setidaknya ada 4 ciri anak "broken home" yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menanganinya:
Pertama, pendiam. Banyak orangtua beranggapan karena anaknya masih kecil lalu tidak akan memahami apa yang terjadi pada kedua orangtuanya. Padahal tak jarang malah si anak sudah mengerti dan akhirnya mengalami depresi. Sebagai jalan keluarnya, ia pun menjadi pendiam karena tidak mau masalah keluarganya semakin rumit.
Kedua, memiliki emosional yang tinggi. Anak "broken home" biasanya harus mengatur emosi karena masalah yang terjadi di rumahnya. Sehingga anak yang emosinya masih labil tersebut dipaksa harus menerima rasa sedih, marah, kecewa, dan lain-lain.
Ketiga, tidak sopan. Ini biasanya terjadi pada anak dari keluarga yang egois dan tidak mempedulikan putra atau putrinya. Sehingga ketika ia mengalami hal buruk, tidak ada anggota keluarganya yang menuntunnya kembali ke jalan yang benar.