Mohon tunggu...
Ardi
Ardi Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru Swasta Mengabdi 12 Tahun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru Perlu Tahu Psikologi Anak

26 Juli 2019   03:38 Diperbarui: 26 Juli 2019   05:01 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah kisah di zaman Nabi Muhammad. Saat kedatangan beliau di kota Madinah, ia mendengar dari penduduk kota bahwa ada seorang anak yang usianya dibawah 12 tahun sudah hapal 16 surah Al-Qur'an, dalam riwayat lain 17 surah.

Nabipun memanggil anak tersebut lalu mengujinya. Ternyata  benar apa yang dikatakan oleh penduduk kota. Ia mampu membaca hapalannya dengan tajwid yang benar dan kefasihan huruf yang diucapkannya. Nabi melihat anak tersebut mempunyai potensi yang sangat baik. Nabi lalu menyuruh anak itu untuk mempelajari bahasa negara lain, karena akan ada surat menyurat yang dilakukan.

Iapun mampu mempelajarinya dalam waktu kurang dari sebulan. Lalu Nabi menyuruhnya lagi untuk mempelajari bahasa negara lainnya. Sama dengan sebelumnya, ia mampu menguasainya dalam tempo yang singkat. Singkat cerita, Nabi mengangkatnya sebagai sekretaris beliau pada usia dewasa.  Iapun menjadi ketua kelompok dalam penyusunan mushaf, selepas Nabi wafat. Anak itu bernama Zaid bin Tsabit.

Nah, apa pelajaran yang dapat dipetik dari secuil kisah ini? Pertama, bahwa Nabi tidak menyia-nyiakan potensi atau bakat yang dimiliki anak tersebut. Ia mengarahkan bakat anak itu hingga anak itu menjadi  seorang yang bermanfaat bagi orang banyak.

Kedua, Nabi seorang yang mengerti psikologi anak. Selayaknyalah seorang pendidik menguasai psikologi anak didiknya. Dikutip dari KBBI, Psikologi sendiri adalah ilmu yang berkaitan dengan proses mental, baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya pada prilaku, atau ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan jiwa.

Mendidik bukanlah pekerjaan mentransfer ilmu pengetahuan belaka. Namun mendidik adalah mengarahkan anak didiknya menemukan jati dirinya dalam mengembangkan potensi diri yang ada. Maka, seorang guru harus bisa fleksibel dalam mendidik. Menyelami kejiwaan anak didik, menemukan minat dan bakat sang anak, lalu mengembangkannya.

Sekolah perlu membuat divisi pengembangan minat dan bakat yang khusus mengarahkan anak didik mengembangkan bakatnya. Sistem pendidikan yang berorientasi pada sebuah angka agaknya perlu ditinjau ulang. Ini dapat membuat ruang kecurangan pada anak didik. Misalnya, ketika ujian berlangsung, siswa telah mempersiapkan catatan kecil sebagai acuannya dalam menjawab soal.

Iapun mencuri kesempatan saat tidak diperhatikan guru untuk melihat catatan tersebut. Hal itu dilakukan agar ia mendapat nilai yang tinggi. Nah, sikap seperti itu tentu bukanlah target pencapaian instansi pendidikan. Dengan diadakannya divisi pengembangan minat dan bakat, diharapkan siswa dapat lebih 'greget' lagi belajar.

Divisi ini akan mengontrol perkembangan bakat siswa sejak ia mulai masuk sekolah hingga tamat. Dan ia dapat melanjutkannya pada perguruan tinggi sesuai dengan minat dan bakatnya. Alasan lainnya adalah karena pada nyatanya, masih banyak profesi yang digeluti seseorang namun tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikannya.

Misalnya, lulusan teknik berprofesi sebagai guru, jurusan kependidikan yang berprofesi sebagai sales di sebuah perusahaan. Inilah kaitannya dengan pengembangan bakat tadi. Anak didik yang telah tahu minat dan bakatnya sejak usia sekolah menengah pertama, akan terus mengasah kemampuannya hingga ke perguruan tinggi sesuai dengan minat dan bakat yang ia tekuni. Bukankah ini jauh lebih baik dari hanya sekadar mengejar angka?

Semoga bermanfaat

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun