Perbuatan tersebut diketahui dilakukan oleh salah seorang pengurus pesantren berinisial NR. Penyelesaian yang diambil untuk kasus ini adalah menikahkan korban dengan pelaku. Kasat Reskrim Polresta Pontianak menganggap bahwa tindakan ini merupakan salah satu pendekatan Restorative Justice.
Hal ini tentu salah besar, karena pendekatan Restoratice Justice seharusnya difokuskan pada pemulihan korban. Korban dalam kasus ini adalah seorang anak di bawah umur dan merasa trauma atas kejadian yang menimpanya. Oleh karena itu, menikahkan korban dengan pelaku sama sekali tidak menyelesaikan permasalahan.
Selain itu, banyak dijumpai di masyarakat, pelaku pemerkosaan justru menawarkan untuk menikahi korban sebagai bentuk upaya damai. Yang lebih miris lagi, keluarga korban menerima tawaran tersebut sebagai bentuk pertanggung jawaban. Hal ini mencerminkan lemahnya pemahaman masyarakat terhadap perlindungan hukum bagi korban pemerkosaan. Pertanggungjawaban pidana yang harus dipikul oleh pelaku sejatinya tak dapat dihilangkan dengan upaya pernikahan.
Seharusnya, keluarga, masyarakat, dan pihak berwajib mendampingi korban dan memberikan ruang kepada korban untuk berperan dalam penyelesaian perkara. Seharusnya korban mampu menjangkau hak-haknya untuk mendapatkan pemulihan fisik maupun psikis dan akses terhadap bantuan hukum. Bukannya malah diposisikan dalam keadaan tak berdaya dengan hidup sebagai pasangan bagi pelaku.
Kedepannya, semoga masyarakat mulai paham bahwa menikahkan korban pemerkosaan dengan pelaku bukanlah suatu solusi yang bijak. Harus dipastikan terlebih dahulu agar korban memperoleh hak hukum, hak sosial, dan hak untuk pulih.
Kehidupan korban lebih dari sekadar pernikahan. Ada trauma yang harus dipulihkan. Ada hati yang harus disembuhkan. Ada fisik yang harus kembali dirawat. Dan ada mimpi yang masih harus digapai. Sudah saatnya masyarakat kita sadar bahwa korban pemerkosaan wajib dibela, bukan dicela maupun dijerat dengan berbagai stigma.